TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia (Gini ratio) pada Maret 2025 sebesar 0,375. Ini menunjukkan tingkat kesenjangan Maret 2025 lebih sempit dibandingkan pada September (0,381) dan Maret 2024 (0,379).
Tingkat ketimpangan diukur berdasarkan indeks rasio Gini dari nol hingga satu. Angka nol menunjukkan, tidak ada kesenjangan sementara angka satu menunjukkan ketimpangan yang sempurna. Semakin besar angkanya artinya semakin menunjukkan kesenjangan yang lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dikutip dari rilis BPS, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan, penurunan ini mengindikasikan perbaikan kecil dalam distribusi pengeluaran penduduk secara nasional. Namun, dia mengatakan ketimpangan tetap menjadi perhatian serius terutama di wilayah perkotaan dan beberapa provinsi yang mencatat rasio Gini di atas rata-rata nasional.
Secara wilayah, BPS mencatat bahwa rasio Gini di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Pada Maret 2025, rasio Gini perkotaan mencapai 0,395, sedangkan perdesaan sebesar 0,299. Hal ini mencerminkan bahwa ketimpangan pengeluaran lebih terasa di kota-kota besar di mana kelompok masyarakat kelas atas cenderung lebih dominan.
“Di desa kan sebagian besar lapangan pekerjaannya itu pertanian, relatif homogen juga tercermin di pengeluarannya. Jadi, gini ratio-nya otomatis akan lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah di perkotaan,” jelas Ateng Hartono seperti dikutip dari Antara.
Faktor lain yang memengaruhi perbedaan ini adalah struktur lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Di pedesaan, mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian, yang cenderung menghasilkan pola konsumsi yang seragam. Sementara di perkotaan, variasi pendapatan yang tinggi menciptakan jurang ketimpangan yang lebih besar.
Tujuh Provinsi di atas Rata-Rata Nasional
Meskipun secara nasional terjadi penurunan ketimpangan, beberapa provinsi justru mencatat gini ratio yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat ketimpangan pengeluaran tertinggi, yakni 0,441. Angka ini naik dari Maret 2024 (0,423) dan September 2024 (0,431).
Enam provinsi lain yang juga mencatat angka di atas rata-rata nasional (0,375) adalah:
- Yogyakarta: 0,426
- Jawa Barat: 0,416
- Papua Selatan: 0,412
- Papua: 0,404
- Gorontalo: 0,392
- Kepulauan Riau: 0,382
Sebaliknya, provinsi dengan tingkat ketimpangan terendah adalah Kepulauan Bangka Belitung dengan Gini ratio hanya 0,222.
Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk terbawah mencapai 18,65 persen pada Maret 2025.
Jika dirinci, distribusi di daerah perkotaan adalah 17,64 persen, sementara di perdesaan lebih tinggi, yakni 21,75 persen. Ini kembali menegaskan bahwa distribusi pengeluaran di desa cenderung lebih merata.
Sumber dan Metodologi Pengukuran
Penghitungan Gini ratio dan ketimpangan pengeluaran pada Maret 2025 menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran. Pendataan dilakukan pada Februari 2025 karena pada bulan Maret bertepatan dengan bulan Ramadhan yang berpotensi mengubah pola konsumsi rumah tangga.
Jumlah sampel yang digunakan dalam Susenas ini mencapai 345 ribu rumah tangga, tersebar di 514 kabupaten/kota dari 38 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan cakupan yang luas, survei ini memberikan gambaran yang cukup representatif mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat.