TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Gerindra, Bahtra Banong, mengatakan ide pemilihan kepala daerah melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dan gubernur oleh presiden berdasarkan pada kegelisahan publik. Bahtra menyatakan pemilihan umum kepala daerah secara langsung membutuhkan biaya yang besar sehingga dinilai tidak efektif dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Seringkali keinginan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas sulit terwujud sebab pilkada harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,” kata Wakil Ketua Komisi II ini melalui pesan pendek pada Sabtu, 26 Juli 2025.
Diskursus pemilihan kepala daerah kembali mencuat setelah diapungkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu malam, 23 Juli 2025.
Menanggapi ide tersebut, Bahtra mengatakan sebenarnya pandangan itu juga pernah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra, di acara Partai Golkar sekitar tujuh bulan lalu.
Bahtra mengatakan Partai Gerindra tetap akan melakukan kajian yang mendalam mengenai ide kepala daerah ditetapkan oleh DPRD dan gubernur dipilih oleh presiden. “Baik mudharat dan manfaatnya. Agar harapan publik terkait pelaksanaan pemilu yang baik dan berkualitas bisa terwujud,” katanya.
Sebelumnya Muhaimin mengusulkan dua pola dalam pemilihan kepala daerah. Yaitu, pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilakukan pemerintah pusat, sedangkan pemilihan bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui DPRD kabupaten/kota.
"PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat.
Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan tak ada jaminan pilkada lewat DPRD lebih murah. Sebelum pilkada langsung dimulai pada 2004, transaksi jual-beli suara di DPRD lazim terjadi. "Banyak praktik suap dalam pemilihan oleh anggota DPRD," kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem ini pada Jumat, 18 Juli 2025.
Mahalnya biaya pemilu, kata Titi, terjadi lantaran praktik pengeluaran ilegal yang tak dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Contohnya politik uang lewat serangan fajar atau bagi-bagi duit menjelang pemilihan. Sebagian calon kepala daerah ataupun legislator juga harus menyetor duit ke partai agar mendapatkan tiket pencalonan.