TEMPO.CO, Jakarta - HASIL negosiasi Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ihwal besaran kebijakan tarif resiprokal menjadi sorotan. Sebab, salah satu poinnya tidak sekadar persoalan dagang, tapi berkaitan dengan transfer data pribadi milik warga Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pegiat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan transfer data warga negara Indonesia ke Amerika Serikat merupakan alarm bahaya yang semestinya disikapi pemerintah dengan merampungkan payung hukum yang bertujuan untuk melindungi data pribadi warga negara.
"Kalau komitmennya patuh aturan perundang-undangan, harusnya sudah disiapkan payung hukumnya," kata Trubus saat dihubungi, Sabtu, 26 Juli 2025.
Payung hukum yang dimaksud Trubus ialah perihal rencana pembentukan lembaga pelindungan data pribadi (PDP) sebagaimana amanat Pasal 58 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang PDP. Masalahnya, pembentukan lembaga ini terkatung-katung sejak 2022 atau setelah UU PDP disahkan.
Menurut Trubus, kepentingan melindungi privasi dan data warga merupakan prioritas yang harus dijalankan pemerintah. Maka dari itu, kata dia, sebagai bentuk komitmen melindungi, pemerintah akan lebih dipercaya apabila merampungkan pembentukan lembaga PDP.
"Kalau memang perintah UU harus dibentuk dulu lembaga, seharusnya ini dulu yang dilakukan, bukan negosiasi dulu," ujar pengajar di Universitas Trisakti itu.
Adapun pemerintahan Donald Trump merilis pernyataan bersama kerangka perjanjian bilateral perdagangan terhadap tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat pada 22 Juli 2025.
Dalam pernyataan bersama itu terdapat satu poin yang menjadi sorotan, yaitu Indonesia berkomitmen mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital. Indonesia akan memberikan kepastian sehubungan dengan kemampuan mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Fianda Hafid mengatakan kesepakatan itu masih dalam tahap finalisasi karena pemerintah masih melangsungkan pembicaraan teknis ihwal transfer data warga negara.
Dia mengklaim kesepakatan transfer data itu bukan berupa berbagi data secara bebas. "Melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara," ujar politikus Partai Golkar itu pada Kamis, 24 Juli 2025.
Sebelumnya, anggota badan perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menilai pemerintah acapkali gagal belajar dari kesalahan yang terjadi sebelumnya, terutama dalam melaksanakan pembentukan lembaga PDP.
Dia melanjutkan, setelah terjadi kasus kebocoran data pada pusat data nasional sementara atau PDNS tahun lalu, semestinya menjadi pecutan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan hak keamanan bagi masyarakat, yaitu dengan segera membentuk lembaga PDP.
"Harusnya jadi urgensi, bukan terus melakukan pengabaian hukum," ujar Wahyudi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai transfer data warga negara kepada negara lain bukan hanya mengancam privasi dan keamanan warga itu sendiri, tapi juga melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM).
Menurut dia, alih-alih menjadikan data warga negara sebagai daya tukar untuk menurunkan besaran tarif resiprokal, pemerintah semestinya melakukan opsi lain dengan tidak menyeret warga negara ke dalam potensi bahaya. "Negara harus sungguh-sungguh melindungi warga negara, bukan mengabaikan bahkan mengobral datanya," ucap Isnur.
Meutya Hafid mengatakan, pemerintah memastikan transfer data ke Amerika Serikat tidak akan dilakukan sembarangan. Sebab, dia mengklaim, seluruh proses dilakukan secara secure and reliable data governance.
Ia melanjutkan, praktik serupa juga dilakukan di pelbagai negara, bahkan dianggap suatu yang lazim untuk konteks tata kelola data digital. Negara anggota G7, kata Meutya, merupakan contoh negara yang menerapkan kebijakan serupa.
"Transfer data pribadi lintas negara pada prinsipnya adalah keniscayaan," kata mantan Wakil Ketua Komisi I DPR itu.