TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan eksekutif mahasiswa fakultas hukum lima universitas menolak Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Mereka menolak karena revisi KUHAP berpotensi memperbesar kewenangan polisi, tentara, dan menjauhi prinsip hak asasi manusia.
Pilihan editor: Lobi-lobi Jaksa dan Polisi Berebut Kewenangan di Revisi KUHAP
Di Yogyakarta, protes datang dari Dewan Mahasiswa Justicia, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mereka menyusun catatan kritis dan pernyataan sikap terhadap R. Catatan kritis setebal 29 halaman itu berisikan pasal-pasal bermasalah yang menjauhi supremasi sipil.
Contohnya pasal yang memberi kewenangan kepada aparat Tentara Nasional Indonesia menjadi penyidik tindak pidana umum.
Catatan kritis ini muncul setelah Dewan Mahasiswa Justicia menggelar konsolidasi intensif dengan empat BEM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, dan Universitas Indonesia sejak dua bulan lalu.
Dewan Mahasiswa juga telah bertemu dengan sejumlah korban salah tangkap polisi dalam forum yang digelar BEM Fakultas Hukum UI. “Catatan kritis muncul setelah mendengar suara korban,” kata Wakil Ketua Bidang Pergerakan Dewan Mahasiswa Justicia, Markus Togar Wijaya dihubungi pada Ahad, 27 Juli 2025.
Markus menyebutkan lima BEM Fakultas Hukum itu sepakat untuk berbagi tugas dalam menentang RKUHAP. Misalnya BEM Fakultas Hukum UI berperan mengumpulkan penyintas. Dewan Mahasiswa Justicia bertugas menyusun kajian dan menyebarkannya ke media sosial supaya publik bisa memahami pasal-pasal bermasalah.
Saat menyusun catatan kritis itu, Dewan Mahasiswa aktif berkonsultasi dengan dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang P.Wiratraman.
Selain menyusun catatan kritis, Dewan Mahasiswa juga terus berkonsolidasi untuk menyiapkan sejumlah demonstrasi gerakan mahasiswa bersama BEM Fakultas Hukum kampus lainnya. Mereka juga gencar kampanye melalui media sosial supaya publik lebih terpapar informasi dan memahami substansi RKUHAP. “Fokus ke kampanye digital,” kata Markus.
Markus menyayangkan penyusunan naskah akademik RKUHP yang berlangsung kilat, tidak melibatkan masyarakat sipil secara bermakna, dan hanya bersifat formalitas. Dia mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memperhatikan pasal-pasal yang menentukan nasib mereka dalam peradilan pidana.
Pilihan editor: Kata Ketua DPP PDIP Soal Peringatan Kudatuli Tanpa Sekjen Hasto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini