Liputan6.com, Jakarta Di tengah gaya hidup serba cepat, junk food menjadi pilihan yang sulit dihindari karena menawarkan kemudahan, rasa lezat, dan harga yang terjangkau. Dari burger berlapis keju hingga minuman bersoda dingin, godaan untuk menyantapnya hampir selalu ada di setiap sudut kota, dari pusat perbelanjaan hingga gerai cepat saji pinggir jalan. Namun, di balik kenikmatannya, junk food menyimpan kandungan yang bisa merusak kesehatan secara perlahan, terutama jika dikonsumsi berlebihan dan menjadi kebiasaan harian.
Fenomena ketagihan terhadap junk food bukan sekadar masalah selera atau kebiasaan makan semata, melainkan juga berhubungan dengan respons biologis tubuh yang kompleks. Rasa gurih, manis, dan tekstur yang memanjakan lidah telah dirancang secara khusus untuk memberikan kepuasan instan yang memicu pelepasan zat kimia tertentu di otak. Akibatnya, tubuh mengirim sinyal untuk menginginkan lagi dan lagi, meskipun kebutuhan energi sebenarnya sudah tercukupi.
Dikutip dari buku Fast Food Genocide: How Processed Food is Killing Us and What We Can Do About It karya Joel Fuhrman (2017), saat ini makin banyak orang yang kecanduan junk food. Padahal efek kecanduannya lebih berbahaya dari rokok, terutama pada dampak kesehatannya.
Artikel ini akan mengulas secara lengkap bagaimana junk food dirancang untuk membuat konsumen ketagihan, apa yang terjadi di dalam otak saat mengonsumsinya, risiko kesehatan yang menyertai, serta langkah-langkah praktis untuk mengurangi ketergantungan. Dengan memahami mekanisme ini secara menyeluruh, diharapkan pembaca bisa lebih bijak dalam memilih makanan dan mengelola pola makan sehari-hari, tanpa terjebak dalam lingkaran kenikmatan sesaat yang berdampak panjang bagi kesehatan.
Definisi, Ciri, dan Contoh: Junk Food Itu Apa Sih Menurut Nakes?
Junk food adalah istilah untuk makanan dan minuman yang mengandung kalori tinggi dari gula, garam, atau lemak, tetapi memiliki kandungan nutrisi yang rendah seperti serat, vitamin, dan mineral. Produk ini sering kali diolah secara berlebihan sehingga kehilangan sebagian besar zat gizi bermanfaat yang dibutuhkan tubuh. Meski demikian, rasa yang kuat dan kemudahan dalam penyajian membuat junk food tetap menjadi pilihan populer di berbagai kalangan masyarakat.
Ciri utama junk food dapat dilihat dari komposisinya yang didominasi oleh bahan-bahan pemanis buatan, pengawet, dan minyak yang telah diproses berulang kali. Makanan cepat saji seperti kentang goreng, ayam goreng tepung, burger, pizza, hingga camilan kemasan dan minuman bersoda termasuk dalam kategori ini. Proses pengolahannya sering kali menggunakan suhu tinggi yang mengubah struktur nutrien alami menjadi bentuk yang kurang sehat bagi tubuh.
Selain itu, junk food biasanya memiliki rasa yang sangat intens sehingga merangsang selera makan tanpa memperhatikan kebutuhan gizi. Konsumsi yang terlalu sering dapat membuat pola makan tidak seimbang, karena porsi makanan bergizi berkurang dan tergantikan oleh produk padat kalori yang minim manfaat. Inilah awal dari masalah kesehatan yang mungkin tidak langsung terasa, namun berpotensi besar dalam jangka panjang.
Formula Rasa: Kombinasi Gula–Garam–Lemak Bikin “Lidah Puas” dan Ingin Lagi
Keunikan junk food terletak pada kombinasi rasa yang diracik dengan cermat, yaitu perpaduan gula, garam, dan lemak dalam kadar yang tepat untuk menciptakan sensasi gurih, manis, dan renyah sekaligus. Perpaduan ini memberikan kepuasan instan bagi indera perasa, membuat otak menerima sinyal “ini enak” sehingga memicu dorongan untuk mengonsumsi lebih banyak. Produsen makanan memanfaatkan formula ini agar konsumen terdorong membeli berulang kali.
Tekstur junk food juga tidak kalah penting dalam memengaruhi ketagihan. Perpaduan antara renyah di luar dan lembut di dalam, atau sensasi meleleh di mulut, membuat pengalaman makan terasa menyenangkan secara fisik. Setiap gigitan memberikan stimulus yang mengaktifkan bagian otak yang bertanggung jawab atas rasa senang, sehingga tubuh mengasosiasikan makanan ini sebagai sumber kenikmatan.
Seiring berjalannya waktu, pola konsumsi seperti ini akan melatih tubuh dan otak untuk terus mencari sensasi rasa serupa. Hal ini membuat pilihan makanan sehat seperti sayuran atau buah terasa kurang memuaskan dibandingkan junk food, meskipun kandungan gizinya jauh lebih baik. Inilah alasan mengapa begitu banyak orang sulit menghentikan kebiasaan makan junk food meskipun sadar akan dampak buruknya.
Sinyal Otak: Sistem Reward dan Dopamin Saat Menyantap Junk Food
Saat junk food masuk ke dalam mulut, tubuh tidak hanya merespons secara fisik, tetapi juga secara kimiawi melalui otak. Sistem reward di otak akan melepaskan dopamin, yaitu senyawa yang menciptakan perasaan senang dan puas. Pelepasan dopamin ini serupa dengan yang terjadi saat seseorang mengalami pengalaman yang sangat menyenangkan atau bahkan saat mengonsumsi zat adiktif tertentu.
Ledakan dopamin membuat otak menandai junk food sebagai sesuatu yang sangat berharga dan perlu diulang. Hal ini memicu dorongan untuk kembali mengonsumsinya di kemudian hari, bahkan ketika tubuh sebenarnya tidak membutuhkan tambahan energi. Seiring waktu, respons ini dapat membentuk kebiasaan yang sulit dihentikan, karena otak telah mengasos...