Liputan6.com, Jakarta Communicable Diseases Agency (CDA) mengingatkan risiko penularan chikungunya di Singapura masih terus terjadi. Peringatan ini disampaikan pemerintah Singapura pada Jum'at, 8 Agustus 2025.
Menurut laporan CDA, tercatat sudah ada 17 kasus chikungunya terdeteksi sejak awal tahun hingga 2 Agustus 2025. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan delapan kasus pada periode yang sama tahun lalu seperti mengutip Channel News Asia.
Singapura melaporkan faktor utama risiko peningkatan kasus chikungunya diduga karena nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta kedatangan pelancong yang terinfeksi.
Dari 16 kasus yang tercatat hingga akhir Juli, 13 diantaranya memiliki riwayat melakukan perjalanan ke wilayah terdampak di luar negeri. "Sementara tiga kasus lokal lainnya tidak memiliki keterkaitan," kata CDA.
Meski begitu, jumlah kasus tahun ini masih jauh lebih rendah dibandingkan wabah chikungunya yang terjadi di China pada tahun 2008 dan 2013.
Lonjakan Kasus dan Antisipasi Singapura
The National Environment Agency (NEA) Singapura mengungkapkan tentang peningkatan pengendalian vektor setiap kali menerima laporan kasus dari CDA.
Langkah ini meliputi inspeksi sarang nyamuk dan lokasi potensial perkembangbiakan di sekitar rumah dan tempat kerja pasien.
"Saat ini ada sekitar 72.000 Gravitrap dipasang di seluruh kawasan perumahan untuk memantau populasi nyamuk Aedes," jelas NEA.
Untuk itu, penanganan bersama mitra komunitas juga akan diperketat jika ditemukan klaster.
Seperti diketahui virus chikungunya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi. Gejalanya mirip dengan demam berdarah seperti demam tinggi, nyeri sendi, ruam, dan sakit kepala.
Bedanya, nyeri sendiri akibat chikungunya dapat bertahan selama berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan.
"Meski tidak seberbahaya demam berdarah, chikungunya bisa sangat melemahkan penderitaan," kata Wakul Direktur Program Penyakit Menular Baru di Duke-NUS Medical School, Prof Ooi Eng Eong.
Jawaban Ahli Soal Risiko
Prof Ooi menilai kenaikan kasus ini patut diwaspadai dan perlu menjadi perhatian kesehatan masyarakat.
Ia juga menekankan potensi nyeri sendiri kronis yang bisa membatasi aktivitas harian.
Mantan Presiden International Society for Infectious Diseases, Dr Paul Tambyah, menilai kondisi ini bisa jadi akibat penularan dari wabah di wilayah Samudra Hindia, terutama Sri Lanka dan China.
Hingga Rabu, 6 Agustus 2025, China terus melaporkan lebih dari 7.000 kasus. Hal ini juga menyebabkan AS mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya yang ingin melakukan perjalanan ke sejumlah kota di China.
Dr Tambyah juga menambahkan bahwa Singapura rawan terkena imbas karena posisinya sebagai pusat perdagangan dan perjalanan global.
"Positifnya, kasus-kasus ini berhasil terdiagnosis di Singapura. Artinya, dokter umum sudah waspada dan melaporkan ke otoritas," ujar Dr Tambyah.
Upaya Perlindungan dan Pencegahan
CDA mencatat wabah chikungunya tengah meningkat di Amerika, Asia, dan Eropa tahun ini. Perubahan iklim juga membuat negara-negara beriklim sedang yang sebelumnya bebas penyakit nyamuk kini berisiko lebih tinggi.
Meski beberapa negara telah melisensikan vaksin chikungunya, hingga kini vaksin tersebut belum tersedia di Singapura.
"Risiko infeksi masih relatif rendah dan vaksin ini tergolong baru, sehingga regulator menunggu data keamanan lebih banyak dari luar negeri," kata Dr Tambyah.
Ia mengungkapkan, hingga vaksin aman dan efektif tersedia luas, cara terbaiknya adalah mencegah gigitan nyamuk Aedes.
Masyarakat diimbau menggunakan obat nyamuk, terutama pada pagi dan sore hari serta memastikan rumah dan tempat kerja bebas dari sarang nyamuk.
"Kalau digigit nyamuk di dekat proyek konstruksi, laporkan ke NEA karena mereka bisa memantau dan mengeluarkan perintah penghentian kerja," tambahnya.
Bagaimana Jika Terinfeksi?
Seperti demam berdarah, tidak ada obat antivirus yang bisa mempercepat penyembuhan chikungunya.
"Pengobatan difokuskan untuk meredakan gejala, misalnya dengan analgesik untuk nyeri sendiri," jelas Prof Ooi.
Dr Tambyah menekankan, penderita sebaiknya memastikan tidak terinfeksi demam berdarah bersamaan. Masyarakat perlu memastikan lingkungan rumah dan kantor agar tidak menjadi sumber penularan baru.