Liputan6.com, Jakarta Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) di sekolah dinilai sebagai langkah yang baik untuk mendukung kesehatan anak.
Menurut Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR. dr. Hikari Ambara Sjakti, Sp.A, Subsp. Hema-Onk(K), kesehatan anak adalah investasi masa depan bangsa.
“Kami menegaskan bahwa kesehatan anak adalah investasi masa depan bangsa. IDAI mengajak semua pihak, termasuk masyarakat, untuk bersama-sama memastikan program ini berjalan efektif dan berkelanjutan,” kata Hikari dalam keterangan pers, Jumat (8/8/2025).
“Dengan kolaborasi semua pihak, program ini dapat memberi dampak yang lebih besar bagi kesehatan anak Indonesia,” tambahnya.
IDAI pun bakal mendukung program ini dengan berbagai cara termasuk pelatihan tenaga kesehatan seperti disampaikan Ketua Pengurus Pusat IDAI, Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA, Subs Kardio(K).
"Dengan anggota lebih dari 5.600 dokter spesialis anak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, IDAI berkomitmen mendukung program ini melalui berbagai cara, seperti pelatihan tenaga kesehatan untuk memperkuat kapasitas dokter umum, perawat, dan kader kesehatan sekolah dengan standar pemeriksaan anak berbasis ilmu terkini,” jelas Piprim.
Selain itu, sambungnya, IDAI melakukan sosialisasi dan advokasi pentingnya cek kesehatan rutin. Kedua program ini telah dijalankan sejak 2022 melalui Paediatrician Social Responsibility (PSR), yang telah menjangkau tenaga medis di puluhan wilayah di Indonesia.
“IDAI juga telah mengembangkan panduan protokol pemeriksaan kesehatan anak sekolah yang terstandarisasi," tambahnya.
Pemerintah Indonesia, resmi meluncurkan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) untuk masyarakat Warga Negara Indonesia (WNI) yang tengah berulang tahun mulai Senin (10/2/2025).
Masih Perlu Perbaikan
Program Cek Kesehatan Gratis untuk anak sekolah adalah langkah penting, tetapi masih memerlukan perbaikan dari sisi cakupan, kualitas pemeriksaan, dan tindak lanjut.
“IDAI siap berperan dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program bersama pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta, serta membantu menginisiasi proyek kolaboratif di daerah prioritas sebagai model replikasi nasional,” ujar Piprim.
Cek Kesehatan Gratis dinilai IDAI sebagai langkah strategis untuk mendeteksi dini masalah kesehatan, memantau tumbuh kembang anak, serta mencegah penyakit yang dapat mengganggu proses belajar dan kualitas hidup generasi penerus bangsa.
Melalui pemeriksaan kesehatan rutin pada anak usia sekolah, dapat dilakukan deteksi dini masalah kesehatan karena pemeriksaan berkala mampu mengidentifikasi gangguan seperti malnutrisi, anemia, gangguan penglihatan/pendengaran, infeksi, atau penyakit kronis.
Harap Bisa Dilakukan Secara Menyeluruh
Selain itu, program ini juga bermanfaat untuk memantau tumbuh kembang anak dan memastikan mereka mencapai milestone pertumbuhan fisik, kognitif, dan emosional sesuai usia. Sambil memberikan edukasi kesehatan tentang gizi seimbang, kebersihan diri, dan pencegahan penyakit menular.
Secara keseluruhan, data hasil pemeriksaan dapat menjadi acuan intervensi kesehatan berbasis bukti dan dasar kebijakan kesehatan nasional.
"IDAI berharap program Pemeriksaan Kesehatan Gratis untuk anak usia sekolah yang sangat baik ini dapat dilakukan secara menyeluruh dan merata pada semua anak Indonesia dan bukan hanya di sekolah-sekolah perkotaan atau daerah dengan fasilitas kesehatan memadai,” kata Hikari.
“Karena Program PKG dilakukan melalui sekolah, maka perlu juga dipikirkan bagaimana untuk menjangkau anak putus sekolah,” tambahnya.
Jangan Lupakan Anak Putus Sekolah
IDAI meminta agar pelaksanaan program merata pada semua anak usia sekolah baik yang bersekolah maupun tidak bersekolah, baik di wilayah perkotaan maupun di daerah terpencil.
Mengingat, masalah kesehatan yang sering terlewat justru banyak terjadi di wilayah dengan keterbatasan fasilitas kesehatan dan distribusi tenaga medis yang belum merata.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ada lebih dari 4 juta anak-anak putus sekolah di Indonesia.
IDAI juga mendorong agar hasil pemeriksaan diikuti dengan rujukan ke puskesmas atau rumah sakit, terutama bagi anak dari keluarga kurang mampu sehingga saat terdeteksi, anak bisa mendapatkan penanganan lebih lanjut meski orangtua tidak memiliki biaya atau akses.
Selain itu, kesiapan infrastruktur harus diperhatikan. Masih banyak daerah yang mengalami keterbatasan alat pemeriksaan dasar (timbangan, stadiometer, atau alat ukur hemoglobin). Hal ini menyebabkan pemeriksaan sering terbatas pada pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah, tanpa pemeriksaan lanjutan seperti tes hemoglobin (untuk anemia), pemeriksaan kesehatan gigi-mulut, atau skrining gangguan mental. Tentunya ini akan mengurangi efektivitas program tersebut.