TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ribka Tjiptaning menilai vonis terhadap Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menunjukkan hukum di Indonesia belum berpihak kepada rakyat. Hal itu disampaikan dalam peringatan 29 tahun peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli yang digelar di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Ahad pagi, 27 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kok sedih banget sih, ya sekjen kami masih ditekan oleh hukum. Putusan kemarin menunjukkan hukum belum berpihak kepada rakyat, tapi masih tunduk pada segelintir penguasa. PDIP Perjuangan masih didzolimi hukum,” ujar Ribka ditemui di lokasi acara.
Pernyataan Ribka merujuk pada vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun enam bulan terhadap Hasto Kristiyanto. Hasto dinyatakan terbukti menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum untuk memuluskan pergantian antarwaktu anggota DPR.
Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta, dengan ketentuan kurungan pengganti selama tiga bulan bila tidak membayar. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menuntut Hasto dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Dalam putusannya, hakim menyatakan Hasto terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 KUHP.
Meski terbukti melakukan suap, Hasto dinyatakan bebas dari dakwaan perintangan penyidikan. Hasto tidak terbukti memerintahkan stafnya, Kusnadi, untuk menenggelamkan gawai yang berhubungan dengan kasus Harun Masiku.
Sementara, Hasto, pada momen peringatan Kudatuli 2024, pernah menyampaikan pesan moral bagi pemerintahan yang tengah berkuasa dan akan mentransmisikan pengaruhnya pada pemerintahan mendatang.
"Kudatuli membawa pesan moral bahwa kekuasaan yang otoriter, yang keluar dari makna kekuasaan sebagai kekuatan kolektif rakyat, pada akhirnya dikalahkan oleh kekuatan arus bawah," kata Hasto dalam wawancara dengan Tempo di kantornya usai acara teatrikal Kudatuli di DPP PDIP, Sabtu, 27 Juli 2024.
Dalam kesempatan itu, Ribka juga mengingatkan belum adanya penyelesaian hukum yang tuntas terhadap tragedi Kudatuli, yang dipicu oleh perebutan kantor DPP PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi. “Hukum masih mengangkangi partai kita,” kata dia dalam orasinya.
Kudatuli atau Sabtu Kelabu adalah kerusuhan disertai kekerasan yang terjadi pada 27 Juli 1996 di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Penyebab peristiwa itu diduga berawal dari perebutan kantor PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi.
Dalam peringatan tahun ini, kader kembali meneriakkan desakan agar aktor-aktor militer yang terlibat dalam Kudatuli diusut. “Usut para jenderal yang berkeliaran pasca peristiwa 27 Juli,” ujar seorang peserta aksi.
Peringatan ini menjadi bagian dari konsolidasi memori kolektif partai terhadap kekerasan politik era Orde Baru, sekaligus pengingat bahwa, menurut mereka, perjuangan melawan ketidakadilan hukum belum usai.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan berita ini