TEMPO.CO, Jakarta - Laboratorium Indonesia 2045 atau LAB 45 mengusulkan pelaksanaan Pemilu Sela Serentak Lokal pada tahun 2029 sebagai solusi untuk mengatasi kekosongan demokratis dan potensi pelanggaran konstitusi akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Putusan itu memisahkan jadwal Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak lokal dengan jeda dua hingga dua setengah tahun. LAB 45 menilai hal tersebut berpotensi memunculkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi jika diikuti dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Desain rekayasa politik yang dimaksud adalah menggelar ‘Pemilu Sela Serentak Lokal’ untuk memilih anggota DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan kepala daerah untuk masing-masing masa jabatan dua tahun saja pada tahun 2029,” tulis Haryadi, Penasihat Senior LAB 45, dalam dokumen telaah kebijakan, dikutip Senin, 28 Juli 2025.
LAB 45 menyadari usulan ini tetap berisiko melanggar konstitusi, karena masa jabatan dua tahun bertentangan dengan ketentuan lima tahun dalam UUD 1945. Namun, menurut Haryadi, pelanggaran itu lebih kecil karena melibatkan rakyat sebagai pemilih.
“Bahwa desain ini masih terkategori melanggar konstitusi, ya. Karena konstitusi tegas menyuratkan masa jabatan anggota DPRD ataupun kepala daerah terpilih adalah lima tahun. Tapi jauh lebih mendekati prinsip demokrasi kepemiluan. Setidaknya elemen kompetisi, partisipasi, dan adil terpenuhi,” ujar dia.
Dalam telaah itu, Haryadi juga menekankan bahwa pemisahan jadwal pemilu memiliki implikasi mendalam, baik secara prosedural maupun politik. “Putusan Mahkamah Konstitusi itu tak semata menjadi pengarah hukum, tapi sekaligus pengarah politik,” katanya. Ia menyebut tarik-menarik kekuasaan akan niscaya terjadi dalam menerjemahkan putusan tersebut ke dalam tata aturan.
Menurut LAB 45, gagasan Pemilu Sela juga bisa menutup kemungkinan gugatan uji materi terhadap perpanjangan jabatan. “Desain semacam ini menutup peluang adanya kemungkinan gugatan judicial review terhadap UU dan/atau Peraturan KPU, jika desain rekayasa politiknya berupa perpanjangan masa jabatan DPRD maupun Kepala Daerah,” kata Haryadi.
LAB 45 juga mengingatkan bahwa Pilkada kini telah berada dalam rezim pemilu, bukan lagi pemerintahan daerah. Maka penunjukan penjabat kepala daerah tidak lagi menjadi kewenangan Presiden atau Mendagri, melainkan harus dilakukan oleh KPU.