TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Hinca Ikara Putra Pandjaitan mengatakan hasil kajian komisinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu berisi kesimpulan bahwa mereka sulit menerima perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah. Alasannya, konstitusi sudah mengatur bahwa masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah selama lima tahun.
Hinca mengatakan komisinya sulit menerima ketika masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD harus diperpanjang hingga 2 tahun 6 bulan. Sehingga solusi paling mungkin mengatasinya adalah pemerintah pusat mengangkat penjabat kepala daerah. Tapi masa jabatan penjabat kepala daerah itu juga tidak mungkin hingga 2 tahun 6 bulan atau separuh dari periode masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itu melanggar demokrasi, karena (kepala daerah) harus dipilih langsung," kata Hinca saat dikonfirmasi mengenai hasil kajian Komisi III DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu, di Kompleks DPR, Jakarta, pada Senin, 28 Juli 2025.
Kamis pekan lalu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pimpinan Dewan sudah menerima hasil kajian Komisi III terhadap putusan Mahkamah Konstitusi di perkara nomor 135/PUU-XXII/2024. Tapi Puan tidak mengungkapkan isi hasil kajian Komisi III yang dikirim pada 23 Juli 2025 tersebut.
Adapun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pimpinan Dewan akan membahas hasil kajian Komisi III tersebut pada masa persidangan selanjutnya. Sebab, saat ini anggota DPR memasuki masa reses.
“Nanti kami akan bahas di masa sidang yang akan datang,” kata Dasco di Kompleks DPR, pada Jumat, 25 Juli 2025.
Ketua Harian Partai Gerindra ini berdalih bahwa pimpinan DPR belum membaca hasil kajian tersebut. Ia melanjutkan, di samping hasil kajian Komisi III, Komisi II DPR juga memberikan masukan ihwal rekayasa undang-undang serta formulanya dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Putusan Mahkamah pada perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang terbit pada 26 Juni 2025 itu berisi pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden serta pemilihan anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sedangkan pemilu daerah meliputi pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD.
Dalam putusannya, Mahkamah meminta pemilu daerah digelar paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah pemilu nasional tuntas. Salah satu skema yang ditawarkan dari konsekuensi pemisahan pemilu itu adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Sedangkan kepala daerah yang habis masa jabatannya dapat diganti penjabat kepala daerah.
Urusan pengangkatan penjabat kepala daerah sudah berulangkali dipraktekkan oleh pemerintah pusat. Misalnya, menjelang pilkada serentak pada 2024, kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum penyelenggaran pemilihan, atau pada 2022, 2023, dan 2024, akan diganti dengan penjabat kepala daerah.
Sebanyak 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022. Selanjutnya pemerintah pusat mengangkat penjabat kepala daerah di 101 daerah tersebut. Secara otomatis daerah tersebut dijabat oleh penjabat kepala daerah lebih dari dua tahun.
Anggota Komisi III DPR ramai-ramai menentang putusah Mahkamah Konstitusi tersebut. Hinca Pandjaitan mengatakan putusan Mahkamah tersebut di luar dugaan. Sebab, penyelenggaraan pemilu mulanya sudah ajeg dan semua disamakan atau digelar bersamaan, kecuali pilkada yang dihelat terpisah.
Politikus Partai Demokrat mengatakan Mahkamah seharusnya membatasi diri terkait dengan putusan-putusan yang mereka ambil. “Jangan melampaui kewenangannya,” kata dia.
Menurut Hinca, MK juga tidak konsisten dengan berbagai putusannya selama ini. Padahal Mahkamah merupakan penjaga konstitusi dan seharusnya menjaga produk perundang-undangan agar tetap taat kepada konstitusi. “Ketika MK memutus suatu undang-undang yang menabrak konstitusi itu sendiri, menurut saya MK telah melampaui kewenangannya,” ujar Hinca.