TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan operasi modifikasi cuaca untuk meredam kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto mengatakan, upaya modifikasi cuaca sudah dilaksanakan sejak 21 Juli 2025 dengan total bahan semai 15.600 kg pada 17 sorti penyemaian awan.
Strategi pada modifikasi cuaca ini adalah menampung air hujan agar melembapkan lahan, terutama tanah gambut yang sangat rawan kebakaran. Kami menargetkan peningkatan tinggi muka air tanah gambut setidaknya mencapai di atas -40 cm agar potensi terbakar dapat ditekan. Rata-rata tinggi muka air saat ini berada di bawah 1 meter, dan ini sangat kritis,” kata Tri Handoko seperti dikutip dari rilis BMKG, 24 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi modifikasi cuaca merupakan teknik yang dilakukan pada atmosfer guna mempengaruhi pola cuaca. Umumnya menggunakan metode penyemaian awan atau cloud seeding. Teknik cloud seeding mampu memanipulasi awan yang memproduksi hujan. Garam berperan sebagai inti kondensasi atau nuclei. Sehingga mempercepat penggabungan tetesan air pada awan. Jadi peluang turun hujan jadi lebih besar.
Biasanya bahan kimia disebar guna memperlaju proses pembentukan hujan. Selain menggunakan natrium klorida, modifikasi cuaca juga menggunakan bahan-bahan lain seperti kalsium oksida. Kemudian, ada karbon dioksida padat atau yang lebih populer disebut dry ice. Bahan ini dapat mendinginkan bagian atas awan dan menciptakan kristal es. Pembentukan bakal membantu presipitasi. Tapi dry ice cenderung jarang digunakan karena biaya yang mahal.
Terakhir, perak iodida atau Agl. Bahan ini mampu menirukan struktur es. Mirip dengan dry ice, awalnya bantu pembentukan kristal pada awan. Perak iodida pertama kali digunakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Februari 2020 untuk penyemaian awan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, keberhasilan operasi modifikasi cuaca sangat bergantung pada faktor cuaca mikro dan makro terutama pertumbuhan awan hujan yang ternyata sangat fluktuatif. Menurutnya, pertumbuhan awan ini dipengaruhi oleh dinamika atmosfer seperti aktivitas gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, suhu muka laut yang hangat, kelembaban udara, hingga labilitas atmosfer di skala lokal.
Dwikorita mengatakan, semua faktor tersebut menentukan seberapa besar potensi awan hujan bisa tumbuh di wilayah-wilayah prioritas seperti Sumatera dan Kalimantan. Menurutnya, operasi modifikasi cuaca tidak bisa dilakukan ketika potensi pertumbuhan awan hujan rendah. "Oleh karena itu, strategi pengendalian karhutla tidak boleh terpaku pada pendekatan tunggal dan harus berlapis,” kata Dwikorita seperti dikutip dari rilis BMKG, 28 Juli 2025.