TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan partainya lebih dahulu mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibandingkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bahlil mengatakan Golkar sudah menyuarakan ide itu saat perayaan hari ulang tahun ke-60 Partai Golkar pada Desember 2024.
"Bukan ide saya yang sama dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, (tapi) Golkar sudah bicara itu duluan sejak HUT Golkar. Bahwa kami punya pandangan sama karena memang rasionalitas berpikirnya," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin, 28 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengatakan penataan sistem demokrasi perlu dilakukan melalui perubahan undang-undang paket politik. Penataan sistem demokrasi harus dilakukan terhadap sistem politik nasional secara menyeluruh, termasuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Salah satu opsi penataan yang ditawarkan Golkar adalah pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Menurut Bahlil, UUD 1945 tidak secara tegas menyatakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, tapi cukup dengan cara yang demokratis.
Selain itu, kata Bahlil, pemilihan langsung menyebabkan biaya politik yang besar. Pilkada langsung juga sering menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. “Yang menang saja sakit hati, apalagi yang kalah. Setiap pilkada, tetangga jadi musuh, saudara tidak saling sapa, bahkan ada yang bercerai gara-gara beda pilihan,” kata dia.
Bahlil melanjutkan, demokrasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan nasional. Berdasarkan pemahaman itu, sistem yang digunakan harus disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi budaya ketimuran. “Jangan sampai demokrasi merusak kohesi sosial kita. Kita cari instrumen yang lebih cocok dengan budaya kita,” ujarnya.
Diskusi penataan sistem pemilihan kepala daerah kembali mencuat lewat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, beberapa pekan lalu. Muhaimin merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, pada 26 Juni 2025.
Ide itu lebih dulu disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto saat saat berpidato di acara HUT Golkar, akhir tahun lalu. Pernyataan Prabowo itu didukung oleh sejumlah politikus Koalisi Indonesia Maju, gabungan partai politik pendukung pemerintah.
Muhaimin mengusulkan dua opsi pemilihan kepala daerah. Pertama, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kedua, pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten-kota.
"PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dalam peringatan Hari Lahir ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, pada Rabu, 23 Juli 2025.
Menanggapi hal itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024. Ia mengatakan, pada putusan 135 itu, MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Sehingga konsekuensi putusan itu adalah pilkada secara langsung seharusnya tetap dipertahankan.
Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam tulisan ini
Pilihan Editor: Celah Pilkada Tak Langsung Setelah Pemisahan Pemilu