Wamenkum: Tidak Ada Isu Krusial dalam RUU Penyesuaian Pidana

1 week ago 11

WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyebut tak ada isu krusial dalam pembahasan rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana. Eddy mengatakan RUU Penyesuaian Pidana merupakan amanat dari Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Nasional yang bakal berlaku 2 Januari 2026 mendatang.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Adapun beleid itu memerintahkan supaya setiap undang-undang dan peraturan daerah yang memuat ketentuan pidana harus disesuaikan dengan KUHP Nasional. “Sebetulnya tidak ada isu yang critical karena ini semata-mata adalah masalah teknis. Jadi kami mengubah sekian banyak undang-undang di luar KUHP itu untuk disesuaikan dengan KUHP Nasional,” ucap Eddy di Gedung DPR, Senayan, pada Senin, 24 November 2025. 

Eddy menjelaskan, RUU Penyesuaian Pidana terdiri dari tiga bab dan sembilan pasal. “Kalau teman-teman melihat ini tebal, yang tebal bukan undang-undangnya, lampirannya. Lampirannya 197 halaman,” kata dia. 

Selain menyesuaikan berbagai undang-undang di luar KUHP dan peraturan daerah dengan KUHP Nasional, RUU Penyesuaian Pidana juga bakal menyesuaikan hal-hal teknis dalam ketentuan dalam KUHP baru itu. “Terus terang ada yang typo, kemudian juga ada yang keliru dalam rujukan pasal,” ujar Eddy. 

RUU Penyesuaian Pidana merupakan usulan pemerintah yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas tahun 2025-2029. Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Eddy Hiariej telah memaparkan bahwa tujuan penyusunan RUU Penyesuaian Pidana adalah untuk menyelaraskan dengan sistem pemidanaan baru yang diatur KUHP Nasional. 

"Penyesuaian ini merupakan bagian dari komitmen negara untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan pidana nasional berjalan dalam satu sistem hukum yang terpadu, konsisten, dan modern," tutur Eddy dalam pemaparannya di hadapan Komisi Hukum. 

Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa penyusunan RUU tentang Penyesuaian Pidana didasarkan sejumlah pertimbangan utama. Pertama, dinamika perubahan masyarakat yang cepat serta kebutuhan pemerintah menata kembali ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral dan peraturan daerah, agar sesuai dengan asas-asas struktur dan filosofis pemidanaan dalam undang-undang KUHP. 

Kemudian, pidana kurungan sebagai pidana pokok telah dihapus dalam KUHP baru, sehingga seluruh ketentuan pidana kurungan yang tersebar dalam berbagai undang-undang dan peraturan daerah harus dikonversi dan disesuaikan. Ketiga, terdapat sejumlah ketentuan dalam KUHP yang masih memerlukan penyempurnaan, baik karena kesalahan formal penulisan, kebutuhan penjelasan lebih lanjut, maupun ketidaksesuaian dengan pola perumusan baru yang menghapuskan minimum khusus dan pidana kumulatif.

“Empat, penyelesaian ini mendesak untuk dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang KUHP pada 2 Januari 2026 karena menghindari ketidakpastian hukum, tumpang tindih pengaturan, serta disparitas pemidanaan di berbagai sektor,” ujar Eddy. 

Dengan demikian, ia mengklaim pembentukan RUU tentang Penyesuaian Pidana itu merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem hukum pidana nasional secara menyeluruh, memastikan penerapan sistem pemidanaan nasional berjalan efektif, proporsional, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Sementara itu, Komisi Hukum DPR telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah atas RUU Penyesuaian Pidana kepada Kementerian Hukum selaku perwakilan pemerintah. Wakil Ketua Komisi III DPR Dede Indra Permana Soediro—yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Penyesuaian Pidana—menyerahkan DIM itu kepada Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej.

Dede menjelaskan, DIM tersebut merupakan kumpulan dari pandangan masing-masing fraksi di DPR. “DIM RUU tentang penyesuaian pidana dengan rincian sebagai berikut, dari klasterisasi batang tubuh 479 DIM, klasterisasi penjelasan 160 DIM, dan keterangannya nanti akan kami sampaikan masing-masing lembaran penyerahan DIM," ujar Dede Indra.

Read Entire Article