TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Hariyadi meminta pemerintah mengusut tuntas kasus beras oplosan yang merugikan masyarakat. Sosok yang akrab disapa Titiek Soeharto ini menyesalkan praktik kecurangan di tengah upaya pemerintah mendorong swasembada pangan nasional.
“Tentunya ini merugikan masyarakat—beras kualitas rendah dicampur dengan yang bagus lalu dijual sebagai beras premium,” kata Titiek melalui keterangan tertulis di laman Partai Gerindra pada Kamis, 17 Juli 2025. Titiek menilai, praktik pengoplosan beras tak hanya merugikan konsumen dari sisi ekonomi, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap komoditas pangan utama seperti beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titiek menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, dalam menangani kasus ini. Dia juga menegaskan bahwa penindakan hukum terhadap pelaku tidak boleh tebang pilih. “Itu perusahaan besar atau kecil. Harus ditindak ya, kalau memang terbukti ngoplos,” kata Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Mantan istri Presiden Prabowo Subianto ini mengatakan bahwa Komisi IV akan terus mengawasi perkembangan kasus ini. DPR, kata dia, juga akan memastikan pemerintah serius dalam menjaga integritas rantai distribusi pangan demi kepentingan konsumen.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan beras oplosan yang merugikan masyarakat hingga Rp 99,35 triliun. Hal ini ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Rabu, 16 Juli 2025.
Amran Sulaiman mengatakan, temuan ini berawal dari adanya anomali harga beras sekitar 1-2 bulan lalu. Harga di tingkat petani dan penggilingan turun, tetapi justru harga di tingkat konsumen naik. “Harusnya kalau petani naik, baru bisa naik di tingkat konsumen,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Sementara itu, ujar Amran, Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya memperkirakan produksi beras naik 14 persen atau 3 juta ton lebih. “Ada surplus 3 juta ton lebih dari kebutuhan, tetapi harga naik. Sehingga kami mencoba mengecek di seluruh Indonesia, ada 10 provinsi penghasil beras terbesar,” katanya.
Kementerian mengecek 268 merek beras di 10 provinsi penghasil beras terbesar seluruh Indonesia. Sampel beras itu kemudian diperiksa di 13 laboratorium.
Untuk beras premium, kementerian mengecek 136 merek. Hasil temuan menunjukkan ada 85,56 persen beras premium yang mutunya tidak sesuai. Sementara 59,78 persen tidak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 78,14 persen tidak sesuai berat kemasan.
Menurut Anggota Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam, kasus pengoplosan seperti ini bukan kali pertama terjadi. "Kita pernah punya pengalaman minyak dan gula (oplosan). Sekarang kasusnya beras (oplosan)," ujar Anam ketika ditemui di Ancol, Rabu, 16 Juli 2025.
Anam menilai, kasus pengoplosan semacam ini biasanya dilakukan oleh produsen-produsen pangan yang berskala besar. "Ketika main pangan selalu (produsen) besar, nggak mungkin kecil," ujar Anam kepada para wartawan.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Helfi Assegaf mengungkapkan, Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa empat produsen dan distributor beras yang diduga melanggar mutu dan takaran.
Keempat perusahaan itu yakni yakni Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Pemeriksaan dilakukan pada Kamis, 10 Juli 2025 dan berlanjut Senin, 14 Juli 2025. "Ada (pemeriksaan lagi)," ujar Helfi, Senin, 14 Juli 2025 lalu.