MAHKAMAH Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu yang dibacakan pada 26 Juni 2025 itu, MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.
Sejumlah pihak menyoroti putusan MK tersebut. Mereka mengatakan putusan Mahkamah itu menyalahi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Puan Maharani: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Menyalahi Konstitusi
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, misalnya, mengatakan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal menyalahi UUD 1945. Dia menuturkan semua fraksi partai politik di DPR mempunyai sikap yang sama bahwa pemilu seharusnya dihelat lima tahun sekali, bila mengacu pada konstitusi.
“Jadi apa yang sudah dilakukan oleh MK, menurut undang-undang, itu menyalahi Undang-Undang Dasar,” kata Puan usai sidang paripurna di DPR pada Selasa, 15 Juli 2025.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan semua fraksi partai politik akan menyikapi putusan MK itu sesuai dengan kewenangan mereka.
Ketua Komisi II DPR: Putusan MK Munculkan Turbulensi Konstitusi
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal menyebabkan bukan hanya kegaduhan, tetapi juga kebingungan dalam implementasi.
Dia menyebutkan amar putusan dan pertimbangan hukum putusan MK itu berpotensi mengangkangi konstitusi apabila harus diadopsi oleh DPR dalam revisi UU Pemilu. “Pemisahan pemilu nasional-lokal munculkan turbulensi konstitusi,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Politikus Partai NasDem itu mengatakan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2), kata dia, secara eksplisit juga menyatakan pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakilnya, anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Masalahnya, kata dia, MK dalam putusannya memisahkan pelaksanaan pemilu serta memerintahkan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, mengatur penyelenggaraan pemilu secara terpisah antara nasional dan lokal. “Pemilu lokal harus dilaksanakan 2 sampai 2,5 tahun setelah pemilu nasional,” ujar Rifqi.
Legislator asal Kalimantan Selatan ini menuturkan penyelenggaraan pemilu lokal yang terpisah berdampak pada masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024 yang berpotensi diperpanjang.
Opsi perpanjangan masa jabatan tersebut berpotensi mengangkangi konstitusi. Sebab, kata dia, tidak ada aturan hukum yang dapat mengatur perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. “Secara pribadi saya tidak ingin melaksanakan putusan ini,” ucapnya.
Gerindra Kritik MK atas Putusan soal Pemisahan Pemilu
Adapun anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra, Supriyanto, mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan lokal. Dia menilai putusan itu bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merusak siklus demokrasi Indonesia.
Supriyanto menyoroti implikasi jeda waktu imbas putusan Mahkamah itu. Menurut dia, pemilihan anggota DPRD yang tidak lagi berlangsung setiap lima tahun sekali bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
“MK seharusnya berfokus pada perannya sebagai pengawal konstitusi, bukan pembentuk norma baru. MK seharusnya menjaga demokrasi, bukan justru membuat keputusan yang membingungkan,” kata Supriyanto dikutip dari keterangan tertulis pada Senin, 7 Juli 2025.
Respons MK atas Kritik terhadap Pemisahan Pemilu
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan Mahkamah Konstitusi tidak melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilu. Enny mengatakan Mahkamah telah memberi mandat constitutional engineering atau rekayasa konstitusi kepada DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menindaklanjuti putusan soal pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.
“Tidak ada pelanggaran karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan constitutional engineering terkait dengan peralihannya, sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak,” kata juru bicara MK itu saat dihubungi pada Senin, 7 Juli 2025.
Dia mengatakan rekayasa konstitusi yang dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi.
Enny menjelaskan putusan itu sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari putusan MK sebelumnya. Dia menyinggung Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah menegaskan keserentakan pemilu. Dalam putusan itu, Mahkamah menegaskan model keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Menurut Enny, dengan melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang berlangsung pada 2019, 2024, dan sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu. “Maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional.”
Ervana Trikarinaputri, Hendrik Yaputra, Andi Adam Faturahman, Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Syarat bagi Rumah Sakit Asing Bisa Beroperasi di Indonesia