TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kolegium Kesehatan Supriyanto menjelaskan alasan sejumlah kolegium kedokteran melayangkan somasi tidak akan menerbitkan sertifikat kompetensi untuk mahasiswa kedokteran. Ia berujar hal itu dilakukan lantaran perguruan tinggi tak kunjung membuat perjanjian kerja sama dengan kolegium untuk uji kompetensi yang akan digelar pada Agustus mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, setiap uji kompetensi calon dokter harus melibatkan kolegium. Mulai dari dari persiapan, pelaksanaan, hingga penilaian. "Supaya kolegium itu ketika mau menandatangani sertifikat, mereka yakin dengan hasilnya karena terlibat langsung," kata Ketua Kolegium kepada Tempo, Rabu, 16 Juli 2025.
Kolegium adalah badan yang bertugas menetapkan standar kompetensi dan pendidikan dokter spesialis, serta menjaga profesionalisme tenaga medis. Dalam konteks ini, mereka juga yang berwenang menyatakan seorang dokter sudah memenuhi syarat sebagai dokter spesialis atau tidak.
Itu sebabnya, Supriyanto menuturkan syarat keterlibatan kolegium mutlak agar mereka dapat mempertanggung jawabkan setiap sertifikat yang dikeluarkan. Ia menegaskan penandatanganan sertifikat kompetensi dokter bukan sesuatu yang sederhana. "Kalau sudah ditandatangani dan ternyata kompetensinya tidak sesuai, secara legal yang nanggung kan mereka (kolegium)," tutur Supriyanto.
Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu juga menilai bahwa pola uji kompetensi yang saat ini diberlakukan oleh perguruan tinggi tidak etis. Alasannya, penilaian calon dokter spesialis dilakukan oleh penyelenggara pendidikan. Tanpa melibatkan pihak ketiga, ia berujar besar kemungkinan ada penilaian yang tidak obyektif. " Yang mendidik itu, yang membuat kurikulum itu, lalu menguji juga itu, enggak lucu nanti," kata dia.
Apabila perguruan tinggi mau berkompromi, dokter spesialis bedah itu menjamin bahwa ribuan calon dokter yang akan mengikuti tes pada Agustus nanti tidak akan gagal mendapatkan sertifikat. "Apa susahnya sih kalau kerjasama? Itu kan dua hari juga bisa selesai," kata dia.
Menurut Supriyanto, UU Kesehatan sudah cukup tegas mengatur standar prosedur operasional pelaksanaan uji kompetensi nasional. Sehingga, ia berujar tidak perlu lagi menunggu aturan turunan dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, Tinggi, Sains dan Teknologi yang entah kapan akan disahkan.
Sebelumnya, pada 14 Juli 2025, empat kolegium, yakni Kolegium Dokter, Keperawatan, Kebidanan, dan Farmasi mengirim surat ke berbagai fakultas kedokteran dan menyatakan bahwa mereka tidak akan menandatangani sertifikat kompetensi apabila uji kompetensi tidak sesuai amanat UU Kesehatan 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024.
Somasi itu membuat sejumlah fakultas kedokteran, termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, merasa resah. Dekan FK UI, Ari Fahrial Syam, mengatakan ada sekitar 4 ribu calon dokter spesialis yang akan terdampak dari keputusan tersebut. Padahal, kata dia, perguruan tinggi masih menggunakan pola lama karena menunggu Standar Prosedur Operasional (SPO) dari Kementerian.
Alih-alih menjalin komunikasi dengan dua kementerian berwenang, Ari menyayangkan para kolegium malah memberikan ancaman kepada perguruan tinggi. "Jadi ini yang menurut saya tidak elok. Di tengah masyarakat, sesama pejabat negara saling bertikai, saling mengancam lagi," kata diamelalui aplikasi perpesanan pada Rabu, 16 Juli 2025.