TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan ia tidak berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat menetapkan Hari Kebudayaan Nasional. Menurut dia, hal itu tidak perlu dilakukan mengingat penetapan hari peringatan ini merupakan usulan dari masyarakat.
"Itu kan aspirasi dari bawah. Tidak semuanya harus dikonsultasikan dengan DPR," kata dia saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Gerinda itu beralasan konsultasi dan izin parlemen diperlukan hanya ketika pemerintah ingin memutuskan sesuatu yang membutuhkan pengawasan ekstra, atau sesuatu yang dinilai terjadi penyimpangan. "Nah di situlah diawasi. Kalau nggak ada yang keliru (tidak perlu izin)" kata dia. "Kecuali ada hal-hal yang luar biasa keberatan, tapi kan ada alasan yang kuat (penetapan hari kebudayaan)."
Penetapan Hari Kebudayaan itu menjadi polemik dan mengundang banyak spekulasi negatif dari publik. Alasannya, pemilihan hari itu terkesan mengikuti hari lahir Presiden Prabowo Subianto, yakni 17 Oktober 1951.
Sehari setelah Fadli Zon mengeluarkan rilis pers ihwal keputusannya tersebut, Ketua DPR Puan Maharani mewanti-wanti supaya penetapan 17 Oktober menjadi Hari Kebudayaan tidak menimbulkan polemik.
“Ini enggak boleh tanpa dasar. Saya berharap bahwa Menteri Kebudayaan bisa menjelaskan argumentasinya dengan sebaik-baiknya, jadi jangan sampai kemudian menimbulkan polemik,” tutur Puan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 15 Juli 2025.
Fadli Zon menetapkan keputusan soal Hari Kebudayaan itu pada 7 Juli 2025. Dia mengatakan 17 Oktober dipilih karena bertepatan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Penetapan Lambang Negara.
Menurut dia, hari itu merupakan momen penting ketika Presiden Soekarno meresmikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian dari identitas bangsa.
Ervana terikanaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini