TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengkritik pernyataan kolegium kesehatan yang menyatakan tidak akan menerbitkan sertifikat kompetensi untuk mahasiswa kedokteran.
Ia menyebut surat kolegium itu bernada ancaman, arogan, dan meresahkan ribuan mahasiswa kedokteran yang akan mengikuti ujian kompetensi pada Agustus 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pernyataan kolegium itu sangat kami sesalkan. Surat tersebut bernada ancaman, tidak menunjukkan niat untuk membangun kolaborasi, dan justru meresahkan mahasiswa yang tengah bersiap mengikuti uji kompetensi,” ujar Ari Fahrial Syam saat dihubungi pada Rabu, 16 Juli 2025.
Ia mengatakan ancaman dari kolegium untuk tidak mengeluarkan sertifikat kompetensi dapat berdampak besar bagi ribuan calon dokter. Jika sertifikat itu tidak dikeluarkan, maka mahasiswa tidak bisa melanjutkan proses registrasi profesi mereka. “Ada sekitar 4.000 calon dokter yang akan mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) pada Agustus ini. Mereka bisa terlunta-lunta jika hasil ujian mereka tidak diakui kolegium,” ujarnya.
Sebelumnya, empat kolegium, yakni Kolegium Dokter, Keperawatan, Kebidanan, dan Farmasi dalam surat tertanggal 14 Juli 2025, menyatakan bahwa mereka tidak akan menandatangani sertifikat kompetensi apabila uji kompetensi tidak dijalankan sesuai amanat UU Kesehatan 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024. Surat itu sekaligus menolak skema dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang dinilai tidak sejalan dengan regulasi.
“Terhitung setelah 8 Agustus 2025, kami tidak akan menerbitkan Sertifikat Kompetensi untuk Uji Kompetensi yang diselenggarakan tanpa mengikuti amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023,” bunyi pernyataan kolegium tersebut, dikutip pada Rabu, 16 Juli 2025.
Menurut mereka, Undang-Undang Kesehatan 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 menegaskan proses uji komptensi mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Para kolegium juga menyebut keterlibatan mereka adalah syarat mutlak untuk menjamin akuntabilitas hasil uji kompetensi. Jika tidak dilibatkan, mereka tidak akan bertanggung jawab atas keabsahan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan.
Hingga pertengahan Juli 2025, Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk pelaksanaan uji kompetensi nasional yang disusun Kementerian Kesehatan belum juga disahkan bersama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Keterlambatan ini berpotensi menghambat ribuan mahasiswa lulusan tenaga kesehatan yang tengah menunggu jadwal uji kompetensi.