BEM UGM Keluar dari Keluarga Mahasiswa

1 week ago 11

BADAN Eksekutif Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan keluar dari Keluarga Mahasiswa sebagai payung yang menaungi organisasi kemahasiswaan di kampus tersebut dengan alasan ingin memperbaiki sistem.

Pilihan Editor: Komnas HAM Turun Tangan Menengahi Kisruh Guru Besar UGM

Keluarga Mahasiswa UGM menaungi BEM UGM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Meniru sistem negara, BEM menjalankan fungsi eksekutif dan MPM menjalankan fungsi pengawasan atau legislatif.

Ketua BEM UGM, Tiyo Ardianto, mengatakan keputusan untuk keluar dari Keluarga Mahasiswa UGM itu muncul dari keinginan untuk memperbaiki sistem organisasi yang mereka nilai mengalami kemunduran. Tiyo mencontohkan kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam berbagai gerakan mengawal isu-isu publik yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah maupun kebijakan kampus.

Menurut dia, sebagian orang selama ini menganggap BEM mewakili 42 ribu mahasiswa di UGM. Padahal, itu justru mengerdilkan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan. “Seolah-olah ketua BEM itu segalanya. Padahal, setiap orang seharusnya punya kebebasan untuk bersuara,” kata Tiyo, Selasa, 25 November 2025.

Menurut Tiyo, kampus sebagai lembaga akademik seharusnya memberikan kesempatan setiap orang untuk terlibat secara independen, tanpa melalui representasi BEM. Dia mencontohkan ketika muncul kebijakan pemerintah yang merugikan publik misalnya program makan bergizi gratis, seharusnya setiap mahasiswa berhak menyampaikan protes tanpa melalui BEM. Contoh lainnya ketika Menteri Pertanian Amran Sulaiman menggugat Tempo sebesar Rp 200 miliar yang menyerang kebebasan pers, seharusnya memunculkan solidaritas dari siapapun tanpa harus melalui BEM.

Selain menyatakan sistem perwakilan yang tak relevan dengan situasi gerakan mahasiswa saat ini, BEM UGM juga menyoroti berbagai persoalan yang mendera internal BEM di sejumlah kampus. Tiyo mengamati secara umum terjadi ketidakpercayaan terhadap BEM di Indonesia. Penyebabnya adalah sebagian mahasiswa menganggap BEM kerap terkooptasi pemerintah dan pejabat rektorat sehingga tidak berperan secara independen dalam merespons berbagai isu. “Peran aktivisme BEM tidak efisien sehingga harus ada perubahan,” kata Tiyo.

Selain itu, sistem pemilihan ketua BEM di Indonesia secara umum, menurut dia, bermasalah karena menciptakan persaingan layaknya sistem pasar bebas. Persaingan itu membuat calon ketua BEM saling berlomba menyiapkan modal uang. Sistem pemilihan ketua BEM, menurut Tiyo, meniru pemilihan kepala daerah. Ada sistem patronase yang menjadikan kultur feodalisme.

Berbagai persoalan itu membuat BEM UGM tergerak untuk mereformasi organisasi tersebut. Mereka menamakan diri sebagai Kabinet Transformasi.

Keputusan BEM keluar dari Keluarga Mahasiswa UGM muncul setelah Kongres Istimewa yang melibatkan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa atau MPM pada 7 November 2025 secara daring. BEM UGM menyatakan kekecewaan terhadap MPM karena tidak mau mendengarkan masukan tentang transformasi Keluarga Mahasiswa UGM supaya lebih relevan dengan perkembangan zaman. “Mereka membungkam suara kami dan pilih pertahankan kemapanan,” kata Tiyo.

Menurut dia, pimpinan sidang forum tersebut tidak membuka ruang dialog. BEM menuntut adanya Kongres Istimewa yang baru secara luring yang menjunjung prinsip demokrasi dan sesuai prosedur.

Pimpinan Tiga MPM, Salman Alfarisi, mengatakan Direktorat Kemahasiswaan UGM sedang memediasi MPM dan BEM karena dinamika internal. Salman menyatakan keduanya punya perspektif yang berbeda dalam melihat organisasi mahasiswa. “Keduanya sama-sama punya justifikasi dan legitimasi,” kata Salman.

Read Entire Article