Analis UNDP: 85,7 Persen Perempuan Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Berbasis Digital

2 weeks ago 17

PROGRAM Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia menyoroti tingkat kekerasan berbasis gender online yang dialami perempuan di Indonesia. Syamsul Tarigan, Gender Equality and Social Inclusion Analyst UNDP, mengatakan pertumbuhan digital di Indonesia yang masif diiringi peningkatan kekerasan berbasis digital yang makin marak pula.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Syamsul menuturkan, sepanjang tahun ini saja, kasus kekerasan berbasis digital terhadap perempuan di Indonesia mencapai 330 ribu kasus. "Ada peningkatan sekitar 14 persen dari tahun sebelumnya," ujarnya dalam acara "16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan" di kantor PBB Indonesia, Jakarta, pada Kamis, 20 November 2025.

Syamsul menjelaskan, kekerasan berbasis digital terus bermunculan dengan berbagai bentuk. Dari gangguan siber, stalking (penguntitan), image based abuse (penyalahgunaan gambar atau foto), hingga penggunaan foto bukan untuk konten pornografi tanpa izin yang kerap diedit menggunakan deepfake atau AI generated.

Deepfake dan AI generated merupakan perangkat kecerdasan buatan yang digunakan untuk menganalisis data serta memanipulasi gambar, suara, dan video orang secara presisi tinggi. Secara global, Syamsul menyebutkan produksi konten deepfake dan AI generated meningkat pesat dari tahun ke tahun.

Pada 2023, misalnya, produksi konten deepfake hanya sekitar 15 ribu file. Namun tahun ini angkanya diprediksi mencapai 8 juta. Di Indonesia, peningkatan produksi konten deepfake mencapai 55 persen dalam lima tahun. "Meningkat hampir dua kali lipat setiap tahun," tutur Syamsul.

Ia menuturkan sasaran kekerasan lewat konten-konten rekayasa itu mayoritas adalah perempuan dengan rentang usia 15-24 tahun. Kemudian, dari sisi profesi, Syamsul menemukan bahwa perempuan jurnalis menjadi profesi yang paling terkena dampak. "Sebanyak 85,7 persen jurnalis perempuan jurnalis pernah mengalami satu dari sekian bentuk kekerasan," ucapnya.

Syamsul pun mengingatkan bahwa angka ini tidak boleh dianggap sepele. Meski kekerasan itu dilakukan di dunia maya, tapi kekerasan tersebut tetap meninggalkan trauma yang nyata.

"Ia menyebabkan trauma psikologis, kerusakan reputasi, kerugian finansial, yang bahkan banyak sekali escalates to offline violence yang nyata, kekerasan di dalam dunia nyata."

Read Entire Article