Liputan6.com, Jakarta - Munculnya temuan baru mengenai penyimpanan data pengguna TikTok di server yang berlokasi di China kembali mengundang perhatian regulator Uni Eropa.
Isu ini menjadi semakin serius mengingat hanya dalam hitungan bulan sebelumnya, platform berbagi video pendek tersebut telah dijatuhi sanksi berat akibat pelanggaran serupa.
Pada saat itu, TikTok dikenai denda fantastis sebesar 530 juta Euro atau lebih dari Rp 10 triliun karena dianggap melanggar regulasi perlindungan data di kawasan Uni Eropa.
Namun, ternyata persoalan belum selesai. Kini, muncul fakta baru yang memperkuat kecurigaan bahwa TikTok belum sepenuhnya transparan dalam mengelola data pengguna Eropa.
TikTok kembali menjadi sorotan dari otoritas perlindungan data Eropa, terutama setelah pengakuan internal yang cukup mengejutkan.
Dalam pernyataan terbarunya, perusahaan menyebut bahwa sebagian data pengguna dari Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) ternyata sempat tersimpan di server yang berada di China.
Mengutip Engadget, Jumat (11/7/2025), Komisi Perlindungan Data Irlandia atau Data Protection Commission (DPC) langsung merespons pengakuan tersebut dengan membuka penyelidikan baru.
Langkah ini menandai babak baru dalam pengawasan ketat terhadap aplikasi TikTok, khususnya terkait praktik transfer dan penyimpanan data lintas negara.
Pengakuan ini juga memicu pertanyaan serius mengenai keandalan klaim TikTok dalam penyelidikan sebelumnya.
Klaim Data yang Dipertanyakan
Sebelumnya, pada April 2025, DPC menyelesaikan investigasi terkait klaim bahwa data pengguna TikTok di wilayah EEA disimpan di luar China. Saat itu, TikTok menyatakan bahwa data tersebut memang dapat diakses oleh staf dari China, tetapi tidak disimpan di sana.
Hasil penyelidikan awal membuat DPC menjatuhkan denda sebesar 530 juta Euro. Namun temuan baru membuat otoritas curiga ada informasi yang sebelumnya ditutupi.
TikTok belakangan mengakui bahwa terdapat “jumlah terbatas” data pengguna EEA yang ternyata sempat tersimpan di server di China. Informasi ini baru diungkap pada Februari, dan perusahaan mengklaim bahwa data tersebut telah dihapus.
Pelanggaran GDPR dan Ancaman Bagi TikTok
Menurut DPC, pernyataan ini bertentangan dengan bukti yang diberikan TikTok dalam penyelidikan sebelumnya.
Oleh karena itu, regulator memutuskan untuk membuka kasus baru guna menyelidiki kemungkinan pelanggaran terhadap General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa.
Sebagai informasi, TikTok memiliki kantor pusat Eropa di Irlandia, yang menjadikan DPC sebagai regulator utama yang mengawasi platform tersebut di kawasan. Oleh karena itu, semua isu terkait data dan privasi pengguna Eropa berpusat pada yurisdiksi lembaga ini.
Perlu dicatat DPC merupakan regulator yang sangat aktif dalam menyelidiki praktik data perusahaan teknologi besar. Sebelumnya, lembaga ini juga pernah memberikan sanksi serupa kepada Meta dan Google atas pelanggaran privasi.
Imbas Potensial dan Langkah TikTok Selanjutnya
Kasus TikTok menjadi menarik karena berkaitan langsung dengan kekhawatiran banyak negara Barat soal potensi intervensi pemerintah China.
ByteDance, perusahaan induk TikTok, berbasis di Beijing dan telah lama dituduh memiliki keterkaitan erat dengan otoritas negara asalnya.
Penyelidikan lanjutan ini bisa menjadi pukulan baru bagi TikTok yang sedang berupaya membangun kembali kepercayaan publik dan regulator.
Apalagi, sebelumnya platform ini telah mengumumkan rencana untuk membangun pusat data baru di Eropa sebagai bentuk transparansi.
Hingga berita ini ditulis, TikTok belum memberikan pernyataan resmi mengenai penyelidikan baru yang diluncurkan oleh DPC. Namun berbagai pihak memperkirakan bahwa hasil dari investigasi ini bisa berdampak besar pada masa depan operasional TikTok di Eropa.