Liputan6.com, Jakarta - Sirkuit Internasional Chang, yang selama ini dikenal sebagai tuan rumah ajang balap dunia motogp di Thailand, kini beralih fungsi menjadi pusat evakuasi darurat.
Perubahan fungsi ini terjadi menyusul eskalasi konflik bersenjata di perbatasan Thailand-Kamboja yang telah memicu krisis kemanusiaan. Ribuan warga sipil dari daerah terdampak telah mencari perlindungan di fasilitas olahraga tersebut sejak Kamis (24/7/2025).
Konflik yang memanas ini bermula dari ketegangan militer yang meningkat, di mana kedua belah pihak saling menuduh sebagai pemicu bentrokan. Situasi darurat ini telah memaksa lebih dari 8.000 penduduk dari distrik sekitar Provinsi Buri Ram untuk mengungsi ke sirkuit, yang berlokasi strategis sebagai titik aman.
Pihak sirkuit menyatakan kesiapannya untuk membantu dan merawat warga yang terdampak, berharap situasi kritis ini dapat segera berlalu.
Dengan Sirkuit Internasional Chang kini sibuk dengan upaya kemanusiaan, kalender balap motogp 2026 baru saja dirilis, menempatkan Thailand sebagai putaran pembuka musim pada 1 Maret 2026.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan event balap internasional di tengah gejolak regional, meskipun MotoGP belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait dampak konflik ini terhadap jadwal balap.
Eskalasi Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja
Ketegangan antara militer Thailand dan Kamboja telah memuncak sejak Mei 2025, dipicu oleh insiden baku tembak lintas batas yang menewaskan seorang tentara Kamboja. Konflik bersenjata skala penuh kemudian pecah pada 24 Juli 2025, dengan laporan bentrokan di wilayah sengketa di sekitar candi kuno yang disertai tembakan artileri. Thailand juga dilaporkan melakukan serangan udara terhadap target militer Kamboja pada tanggal yang sama.
Bentrokan terus berlanjut hingga Jumat, 25 Juli 2025, dan meluas ke berbagai lokasi di sepanjang perbatasan pada 26 Juli 2025, termasuk di provinsi Chanthaburi dan Trat. Pemerintah Thailand merespons dengan mengumumkan darurat militer di delapan distrik yang berbatasan dengan Kamboja pada 26 Juli 2025, menunjukkan tingkat keseriusan situasi.
Kedua negara saling menyalahkan atas pecahnya konflik ini. Perdana Menteri Thailand pada awalnya menyatakan tidak memperkirakan sengketa akan berkembang menjadi konflik berskala penuh, namun kemudian menyebut tindakan Kamboja sebagai kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.
Dampak Kemanusiaan dan Peran Sirkuit MotoGP
Konflik perbatasan ini telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang signifikan. Laporan awal menyebutkan setidaknya 15 warga sipil tewas, mayoritas di sisi perbatasan Thailand. Hingga 26 Juli 2025, total korban tewas di kedua belah pihak mencapai 32 orang, terdiri dari 19 orang di Thailand (13 warga sipil dan 6 tentara) dan 13 orang di Kamboja (8 warga sipil dan 5 tentara).
Gelombang pengungsian masif terjadi, dengan lebih dari 138.000 warga sipil di Thailand dan sekitar 35.000 warga Kamboja terpaksa meninggalkan rumah mereka. Empat provinsi di Thailand yang paling terdampak adalah Si Sa Ket, Surin, Ubon Ratchathani, dan Buri Ram, semuanya berdekatan dengan garis perbatasan.
Krisis ini juga mengganggu layanan publik vital. Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand mengumumkan penutupan penuh atau sebagian 11 rumah sakit di wilayah perbatasan, sementara Kementerian Pendidikan menutup sementara 751 sekolah di provinsi-provinsi yang terdampak.
Dalam situasi darurat ini, Sirkuit Internasional Chang di Provinsi Buri Ram mengambil peran penting sebagai tempat evakuasi. Pada 24 Juli 2025, sirkuit tersebut telah menampung lebih dari 8.000 penduduk, menyediakan tempat berlindung dan bantuan bagi mereka yang terdampak konflik.
Sikap MotoGP dan Pemerintah Thailand
Hingga saat ini, MotoGP belum mengeluarkan komentar resmi terkait situasi genting di Thailand atau potensi dampaknya terhadap jadwal balap mereka. Namun, pada Kamis, 24 Juli 2025, di tengah gejolak perbatasan, MotoGP justru merilis kalender 2026 yang menempatkan Thailand sebagai putaran pembuka musim pada 1 Maret 2026, sebuah indikasi bahwa mereka mungkin berharap situasi akan mereda.
Pemerintah Thailand melalui Perdana Menterinya pada 25 Juli 2025, menyatakan keyakinannya bahwa sengketa perbatasan tidak akan berkembang menjadi konflik berskala penuh. Namun, pernyataan ini diikuti oleh retorika yang lebih keras pada 26 Juli 2025, di mana Perdana Menteri menuduh tindakan Kamboja sebagai kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Perbedaan nada ini mencerminkan kompleksitas dan ketidakpastian situasi yang sedang berlangsung.