Liputan6.com, Jakarta - Neuralink, perusahaan rintisan implan otak besutan Elon Musk kembali menuai sorotan.
Namun kali ini bukan karena uji klinis manusia atau teknologi futuristiknya, melainkan status barunya dalam basis data Small Business Administration (SBA) Amerika Serikat.
Mengutip Gizmodo, Rabu (23/7/2025), Neuralink diketahui mencentang dirinya sebagai Self-Certified Small Disadvantaged Business (SDB), meski valuasinya dilaporkan telah menembus USD 9 miliar.
Padahal, menurut aturan federal, label SDB ditujukan bagi perusahaan kecil yang 51 persen sahamnya dimiliki oleh individu yang dianggap “secara sosial dan ekonomi terpinggirkan”.
Langkah ini memicu pertanyaan publik, mengingat Elon Musk dikenal sebagai miliarder papan atas yang kerap mengkritik kebijakan diversity, equity, and inclusion (DEI).
Sementara itu, status SDB sendiri dapat membuka akses ke berbagai fasilitas dan prioritas kontrak pemerintah. Struktur kepemilikan Neuralink pun dipertanyakan, karena tak tersedia secara publik.
Neuralink Daftar sebagai Usaha Kecil Terpinggirkan
Dokumen SBA yang dicermati blog MuskWatch menampilkan centang Neuralink pada kolom SDB dalam formulir bertanggal 24 April 2025.
Penandaan ini menyiratkan perusahaan tersebut mengklaim status Small Disadvantaged Business, yang secara teori bisa membuka akses prioritas dalam lelang kontrak pemerintah, serta berbagai pendanaan dan insentif federal lainnya.
Namun, publik dan sejumlah pengamat mempertanyakan validitas klaim tersebut, terutama karena Neuralink dipimpin oleh Elon Musk, miliarder yang dikenal lantang menolak program keberagaman dan bantuan pemerintah.
Menurut ketentuan SBA, status "terpinggirkan" tidak berlaku bagi individu dengan kekayaan bersih lebih dari USD 850 ribu (tidak termasuk rumah utama).
Meski struktur kepemilikan terbaru belum dibuka ke publik, data SEC 2019 menunjukkan Elon Musk sempat menjadi pemegang saham mayoritas Neuralink.
DEI vs Kritik Musk: Ironi di Balik Formulir
Penetapan diri Neuralink sebagai Small Disadvantaged Business (SDB) dinilai bertolak belakang dengan sikap Elon Musk yang selama ini vokal mengkritik inisiatif keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI), serta intervensi pemerintah dalam bisnis.
Musk bahkan kerap menyebut program seperti DEI sebagai bagian dari “virus woke” yang harus diberantas.
Namun dalam praktiknya, perusahaan yang ia dirikan justru tampak mengambil keuntungan dari regulasi yang sama.
“Ironis. Perusahaan anti-woke malah antre manfaat dari kebijakan woke,” tulis Gizmodo mengutip salah satu komentar warganet yang menyindir langkah Neuralink.
Sampai berita ini ditulis, Neuralink belum memberikan respons atas permintaan klarifikasi, baik soal alasan penggunaan label SDB maupun rincian siapa yang memenuhi syarat sebagai pemilik saham “terpinggirkan” sesuai ketentuan hukum.
Bisnis Bernilai Jumbo, Masih Perlu Insentif?
Sejak didirikan pada 2016, Neuralink telah mengumpulkan pendanaan besar dari berbagai investor kelas kakap di Silicon Valley. Valuasinya bahkan kini disebut-sebut menembus USD 9 miliar.
Hal ini membuat banyak pihak mempertanyakan mengapa perusahaan sebesar itu masih merasa perlu mencantumkan status sebagai Small Disadvantaged Business demi potensi insentif pemerintah.
Perusahaan ini juga telah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk melakukan uji coba implan otak pada manusia.
Salah satu demonstrasi paling menonjol adalah ketika Neuralink menayangkan pasien kuadriplegik yang berhasil bermain video game menggunakan chip yang ditanam di otaknya.
Namun di balik gebrakan sains itu, Neuralink tak lepas dari kontroversi. Perusahaan ini digugat karena dugaan pelanggaran etika dalam uji coba terhadap hewan.
Beberapa monyet yang digunakan dalam eksperimen dilaporkan mati dalam kondisi yang memprihatinkan, hingga memicu kecaman dari organisasi perlindungan hewan dan kelompok dokter yang menyebut praktiknya sebagai bentuk “penyiksaan grotesque”.
Apa Risiko Klaim ‘Usaha Terpinggirkan’?
Klaim Neuralink sebagai Small Disadvantaged Business bukan sekadar formalitas administratif.
Menurut pakar hukum bisnis, apabila terbukti memberikan keterangan palsu dalam dokumen resmi, perusahaan berpotensi menghadapi sanksi serius dari pemerintah federal, mulai dari denda besar hingga larangan mengikuti kontrak atau tender dengan instansi pemerintah.
“Status SDB bukan sekadar kotak yang bisa dicentang semaunya. Ada audit dan verifikasi menyeluruh,” kata seorang profesor hukum dari Universitas Georgetown saat diwawancarai oleh Gizmodo.
Langkah Neuralink ini pun menimbulkan ironi tersendiri di mata publik. Bagaimana mungkin perusahaan yang didukung salah satu orang terkaya dunia bisa masuk kategori “terpinggirkan”?
Banyak pihak menilai tindakan ini sebagai bentuk eksploitasi celah regulasi untuk mendapat keuntungan kompetitif secara legal, meski secara etika dipertanyakan.