Liputan6.com, Jakarta - Imbas atas terjadinya pandemi Covid-19 pada tahun 2020, kini masyarakat terpaksa untuk beradaptasi dengan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI).
Era globalisasi dunia mengalami percepatan, masyarakat dipaksa untuk mengenal sistem kerja hybrid yang memungkinkan orang untuk bekerja kapanpun dan dari manapun.
Publik juga dituntut untuk terus mengikuti kemajuan teknologi, namun banyak keawaman akan teknologi timbul karena pada dasarnya masyarakat kita belum siap.
Akibatnya, banyak serangan dan ancaman siber yang menerpa masyarakat. Orangtua, siswa/ pelajar, ataupun tenaga kerja ahli dapat mengalami hal ini, jika tidak berhati-hati dalam keseharian menggunakan teknologi.
Menurut Suryo Pratomo, Director and Head of Sales PT Ensign InfoSecurity Indonesia, Rabu, (23/7/2025) “Ensign InfoSecurity telah menemukan adanya peningkatan besar skala serangan siber yang melakukan kolaborasi sub kontrak dengan ekonomi bawah tanah.”
Parahnya, terjalinnya kerja sama subkontrak dengan ekonomi bawah tanah membuat serangan organisasi hacker ini menjadi lebih teroganisir dan efektif. Mengakibatkan korban dimana-mana.
Beberapa organisasi yang terindikasi sebagai sumber ancaman siber diantaranya Akira, Brain Cipher, DragonForce Ransomware, Kill Ransomware, LockBit Gang, Qilin Ransomware, RansomHub, dan Sarcoman Ransomware.
“Di Indonesia sendiri setidaknya ada dua organisasi ancaman siber yang sering berbuat ulah, diantaranya Brain Cipher dan LockBit Gang,” tutur Head of Consulting PT Ensign InfoSecurity Indonesia, Adithya Nugraputra Rowi.
Apa Saja Keterlibatan AI Dalam Dunia Hacking?
Tak dapat dipungkiri, belakangan ini marak terjadinya penipuan menggunakan teknologi Deepfake yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).
Penipuan jenis ini terbilang cukup tricky, karena mungkin beberapa orang dapat membedakannya dan sebagian lain tidak.
Perkembangan teknologi Deepfake yang pesat telah membuka jembatan baru bagi orang-orang jahil dan berniat jahat.
Sekarang untuk melakukan penipuan berbasis hacking, pelaku sudah tidak perlu melalui rentetan proses hack yang terbilang sulit.
Dengan mengunggah foto ke sebuah web, pelaku dapat meniru dan berpura-pura sebagai kerabat dekat korban, lalu menguras habis harta kekayaan korban dengan melakukan penipuan seperti, tolong transfer! mama kecelakaan, butuh biaya berobat.
Dalam menangani hal ini, teknologi penanganan serangan skala besar mulai dikembangkan, namun teknologi ini masih bersifat ekslusif untuk perusahaan dan tidak bisa digunakan oleh individu.
"Teknologi ini akan mendeteksi wajah maupun suara untuk mengklasifikasikan apakah gambar dan video ini asli atau buatan komputer," ujar Adithya dalam sesi makan bersama press.
Hati-Hati Penipuan, Sekarang Semua Orang Bisa Menjadi Hacker!
Pada tahun 2024 lalu tingkat ancaman siber semakin mencuat, hal ini disebabkan oleh perkembangan hubungan ekosistem siber bawah tanah yang menjadi semakin kuat.
Sebagai contoh, saat ini semua dapat melakukan serangan siber tanpa memiliki kemampuan hacking yang mendalam.
Bahkan belum lama ini ada beberapa kelompok hacker yang dapat melakukan penyusupan ke Base Transceiver Station (BTS) untuk mengirimkan link phising.
Sistem kerja baru dari link phising ini dapat berupa pengiriman SMS kepada korban dengan nomor asli suatu instansi terpercaya.
Hal ini dapat mengecoh korban jika tidak berhati-hati, karena hacker akan mengaku sebagai instansi terkait untuk melakukan penipuan.
Jika mengalami hal demikian, cobalah untuk periksa ulang apakah kamu sedang melakukan kontak dengan instansi terkait.
Apabila kamu merasa tidak melakukan kontak hubung, sebisa mungkin hindari untuk memberikan informasi pribadi seperti nomor KTP, alamat rumah, tanggal lahir, data keungan pribadi, dan semacamnya.