
PENYINTAS tragedi 1965, Uchikowatie Fauzia, menilai rencana pemerintah menulis ulang sejarah nasional hanya akan memuat versi tunggal peristiwa Gerakan 30 September (G30S) dan menutupi tragedi kemanusiaan yang menyusul setelahnya.
Dia khawatir langkah tersebut akan menghapus catatan pelanggaran HAM berat dari ingatan publik.
“Saya tidak ingin peristiwa yang kelam, gelap, dan memalukan itu dihapus dari buku sejarah. Peristiwa 1 Oktober 1965 memang menewaskan enam jenderal dan satu perwira yang kemudian menjadi pahlawan revolusi, tapi setelah itu terjadi tragedi kemanusiaan," katanya dalam diskusi publik 80 tahun kemerdekaan 'Kemerdekaan untuk Siapa?', di Taman Ismalil Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (15/8).
"Ratusan ribu bahkan jutaan orang tewas, dibunuh, dibantai, dirampas hak dan kekayaannya, ditahan, disiksa, sampai keluarga mereka ikut menjadi korban,” ujar Uchi
Menurutnya, sejarah terkait 1 Oktober 1965 yang telah terjadi G30S/PKI itu, tanpa mengungkap pembunuhan massal, kehilangan keluarga, hingga kekerasan seksual yang dialami perempuan pada masa itu. Ia menegaskan, hal itu bentuk penghapusan ingatan kolektif bangsa.
“Itu yang tidak saya inginkan. Buku-buku sejarah selama ini menutupi tragedi tersebut. Banyak anak SMA kalau ditanya apa yang terjadi tahun 1965 hanya menjawab PKI berontak,” tegasnya.
Lebih lanjut, keberadaan catatan tragedi kemanusiaan dalam buku sejarah bukan hanya untuk kepentingan generasi mendatang, tetapi juga menjadi bagian dari pemulihan korban.
Ia berharap generasi muda belajar dari masa lalu agar menjadi manusia yang lebih beradab. “Saat ini saya menganggap banyak yang tidak beradab, terlalu banyak kekejaman di sekitar kita. Menulis sejarah yang utuh adalah cara agar itu tidak terulang,” ujarnya.
Ia menegaskan, pelanggaran HAM berat masa lalu harus tetap tercatat sebagai peringatan moral. “Ini penting untuk dituliskan di dalam buku sejarah, supaya tragedi kemanusiaan seperti itu tidak lagi terjadi,” pungkasnya. (Far/P-2)