Liputan6.com, Jakarta - Secara klimatologis, Indonesia seharusnya telah memasuki periode musim kemarau pada Juni 2025. Namun, hujan lebat masih melanda wilayah Indonesia hingga pekan awal Juli, menyebabkan banjir di berbagai wilayah Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat hanya sebanyak 30% zona musim di Indonesia yang telah memasuki periode musim kemarau, angka ini disebut hanya mencapai setengah dari jumlah zona musim yang seharusnya telah memasuki masa kemarau.
Banjir membawa kerugian bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga pada aspek kesehatan. Dokter spesialis kulit dan kelamin Rumah Sakit EMC Alam Sutera dr. Dhika Beankha Kusnaedi, Sp. DVE, FINSDV menyebut banjir membawa berbagai penyakit kulit dari paparan airnya, yaitu penyakit kulit dan jaringan lunak, penyakit kulit akibat gigitan hewan, infeksi jamur, dan reaksi alergi.
"Saat banjir, ada beberapa penyakit kulit yang perlu diwaspadai oleh masyarakat, salah satunya adalah penyakit kulit akibat banjir, yaitu inflammatory atau peradangan dermatitis kontak iritan, infeksi bakteri dan jamur, trauma/gesekan, dan lainnya," jelas Dhika, mengutip laman EMC.
Air banjir juga tidak hanya mengandung kuman, terkadang berbagai hewan atau serangga juga bisa bermunculan dari genangan air banjir dan memicu risiko penyakit kulit.
Hewan-hewan tersebut seperti nyamuk, kutu air, hingga serangga. Gigitannya bisa menimbulkan bentol yang terasa gatal. Umumnya kondisi tersebut bisa membaik setelah beberapa saat. Meski demikian, gigitan serangga tersebut juga bisa menyebabkan reaksi alergi.
Selain itu, gigitan serangga yang masih berair dan gatal kemungkinan terjadi karena infeksi. Jadi, ketika individu menggaruk kulit yang gatal, mungkin saja terjadi luka yang berpotensi terinfeksi. Ketika terinfeksi, luka garukan akan lebih lama sembuhnya, terasa nyeri, bahkan bernanah.
Arus banjir juga mempermudah penyebaran penyakit yang berasal dari hewan, beberapa penyakit yang perlu diwaspadai pada saat banjir, yaitu: