Inilah Saatnya Indonesia Serius Menjamin Hak Setiap Bayi untuk Mendapatkan ASI Eksklusif

Liputan6.com, Jakarta - Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi. Bukan hanya karena memenuhi kebutuhan gizi, tapi juga melindungi dari berbagai penyakit dan menurunkan risiko stunting. Namun, kenyataannya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan tidak selalu mudah.

Banyak ibu menghadapi tantangan mulai dari bayi sulit menyusu, tekanan keluarga, hingga tuntutan kembali bekerja. Akibatnya, capaian ASI eksklusif nasional masih belum merata dan hampir separuh ibu belum berhasil memberikan ASI secara optimal.

Konselor menyusui sekaligus Dosen Promosi Kesehatan Politeknik Negeri Madura, Nuraini Fauziah, menegaskan bahwa rendahnya ASI eksklusif bukan semata karena kurangnya pengetahuan ibu.

"Keberhasilan menyusui sangat dipengaruhi faktor sosial, budaya, lingkungan kerja, hingga dukungan tenaga kesehatan. Ini bukan lagi persoalan individu, tetapi isu kesehatan publik," ujarnya kepada Health Liputan6.com, Rabu, 10 Desember 2025.

Melihat kondisi tersebut, negara mulai mempertegas komitmennya. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif.

Artinya, tanggung jawab tidak lagi dibebankan pada ibu semata, melainkan menjadi kewajiban negara melalui sistem kesehatan yang lebih kuat, terstruktur, dan mudah diakses.

Komitmen ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Pada pasal 24–48, pemerintah mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan edukasi, konseling, dan pendampingan menyusui yang komprehensif.

Lebih jauh, aturan ini juga membatasi promosi susu formula yang kerap memengaruhi keputusan ibu. "Pendampingan menyusui sekarang bukan sekadar pilihan, tetapi bagian dari layanan wajib. Negara harus hadir dari kehamilan hingga enam bulan masa menyusui," kata Nuraini.

Dalam Renstra Kemenkes 2025–2029, ASI eksklusif ditetapkan sebagai strategi utama penurunan stunting dan kematian bayi. Pendekatannya pun bergeser, dari pengobatan ke upaya promotif dan preventif.

Edukasi dan konseling diberikan secara berkelanjutan, bukan hanya sekali saat ibu melahirkan. Berbagai studi juga menunjukkan ibu yang didampingi secara konsisten memiliki peluang lebih besar berhasil memberikan ASI eksklusif.

Namun implementasi kebijakan masih menghadapi tantangan nyata. Banyak puskesmas belum memiliki tenaga terlatih khusus menyusui, kelas ibu hamil tidak selalu berjalan rutin, dan edukasi masih disampaikan singkat.

Di sisi lain, tidak semua ibu memiliki akses terhadap media edukasi berbasis website atau aplikasi. Oleh sebab itu, kombinasi media digital dan visual sederhana seperti flipchart menjadi penting agar informasi dapat diterima semua kalangan.

Evaluasi kebijakan pun perlu diarahkan pada dampak, bukan sekadar jumlah kegiatan. Pertanyaannya sederhana. Apakah ibu lebih percaya diri menyusui? Apakah sikap keluarga lebih mendukung? Apakah semakin banyak bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan? Jika jawabannya belum, berarti kebijakan masih perlu diperbaiki.

Menurut Nuraini, negara harus memastikan pendampingan menyusui benar-benar hadir di lapangan.

"Poster dan imbauan singkat tidak cukup. Ibu butuh komunikasi yang berkelanjutan, media edukasi yang mudah dipahami, dan bantuan nyata ketika menghadapi kesulitan," pungkasnya.