[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Lima Hal Pelayanan Rumah Sakit Pasca Bencana Banjir, Bisa Sampai 200 Hari ke Depan

Liputan6.com, Jakarta - Dokter Spesialis Paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Ikatan Alumni FKUI (ILUNI-FK) menyampaikan bahwa pada 10 Desember 2025 IGD RSUD Tamiang Aceh mulai dapat beroperasi, demikian juga beberapa RS lainnya. Setidaknya ada empat hal yang dapat kita persiapkan dan analisa sesuai artikel ilmiah dari Jurnal Kesehatan Internasional Nature berjudul “Hospitalization Risks Associated with Floods in a Multi-Country Study”, ditambah satu hal tentang tenaga kesehatan.

Pertama, hasil penelitian dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kasus yang harus dilayani di rumah sakit terjadi cukup lama, sampai 210 hari sesudah bencana banjir terjadi.

Kedua, lamanya dampak terhadap pelayanan rumah sakit pasca banjir besar akan berhubungan dengan tiga hal. Pertama, sumber daya yang harus kita sediakan di rumah sakit daerah bencana, baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan tentunya dukungan finansial. Kedua, selain sumber daya, sistem pelayanan kesehatan rumah sakit juga perlu ditata dengan baik sejak sekarang untuk menghadapi hari-hari panjang ke depan. Ketiga, harus diingat bahwa rumah sakit tidak hanya akan menangani penyakit yang berhubungan dengan banjir, tetapi juga menangani penyakit-penyakit lain yang memang biasa terjadi di masyarakat sehari-hari, sehingga dapat dikatakan sebagai semacam beban ganda.

Ketiga, temuan ilmiah dalam artikel ini adalah adanya 10 jenis penyakit yang biasa dihadapi pasca banjir, yaitu penyakit kardiovaskular, penyakit paru dan pernapasan, penyakit infeksi, penyakit saluran cerna, gangguan mental, diabetes, cedera, kanker, gangguan sistem saraf, dan penyakit ginjal.

Keempat, ada enam faktor yang berhubungan dengan pelayanan rumah sakit pasca banjir besar, yaitu keadaan cuaca yang terjadi, derajat beratnya banjir yang ada, pola umur para korban banjir, kepadatan penduduk di daerah bencana, dan status sosial ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini perlu kita masukkan dalam bahan kajian sejak sekarang untuk dapat menjamin resiliensi (ketahanan) pelayanan kesehatan di rumah sakit pada hari-hari dan bulan-bulan ke depan. Suatu masa yang sulit, yang akan jauh lebih mudah ditanggulangi apabila ditangani dengan seksama sejak awal.

Kelima, kini juga beredar informasi tentang ketersediaan tenaga kesehatan di daerah bencana. Pengalaman saya pribadi ketika terlibat langsung di lapangan saat Tsunami Aceh menunjukkan bahwa pada dasarnya manajemen SDM dan manajemen logistik kesehatan perlu diatur secara rapi. Tim manajemen krisis kesehatan di lapangan yang menangani pengaturan di lokasi mengelola berbagai sumber daya yang pasti sudah ada di lapangan dari berbagai sumber. Pada saat Tsunami Aceh, bahkan pengaturan dilakukan terhadap sumber daya dari dalam dan luar negeri. Saya ingat, antara lain, ada beberapa tim kesehatan dari negara sahabat yang bersama-sama bekerja di RS Zainoel Abidin Banda Aceh setelah TNI berhasil membersihkan lumpur lebih dari satu meter di seluruh kawasan rumah sakit.

Prof. Tjandra Yoga Aditama Direktur Pascasarjana Universitas YARSI / Adjunct Professor Griffith University Australia / Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit, serta Kepala Balitbangkes Penerima Rekor MURI April 2024, Penerima Penghargaan Paramakarya Paramahusada 2024 – PERSI, dan Penerima Penghargaan Achmad Bakrie XXI 2025