Liputan6.com, Jakarta Liverpool akhirnya mewujudkan transfer besar yang telah lama disiapkan. Florian Wirtz, playmaker muda asal Jerman, resmi bergabung dengan The Reds dalam kesepakatan senilai hingga £116 juta. Transfer ini bukan hanya memecahkan rekor klub, tetapi juga menjadi simbol keberlanjutan strategi cerdas Fenway Sports Group (FSG).
Wirtz datang dengan reputasi mentereng, usia muda, dan jumlah penampilan senior yang nyaris menyentuh 200 pertandingan. Dalam banyak hal, ia adalah prototipe ideal pembelian ala Liverpool di era modern—mahal, tapi tetap terukur dan berdasarkan data. FSG tampaknya kembali mengandalkan formula yang selama ini sukses membawa mereka bersaing di puncak Eropa.
Kesepakatan ini juga menjadi pengingat atas kesempatan yang pernah dilewatkan. Pada 2017, Liverpool batal merekrut Julian Brandt dan justru memilih Mohamed Salah—keputusan yang kini dikenang sebagai titik balik era kejayaan baru. Kini, dengan Wirtz, mereka tampaknya tak ingin kesempatan emas berikutnya lepas begitu saja.
Lantas, apa yang membuat Liverpool begitu yakin pada Wirtz? Dan mengapa transfer ini tetap dinilai sebagai langkah “aman” meski nilainya fantastis?
Strategi Rekrutmen Liverpool: Antara Konsistensi dan Kalkulasi
Di bawah kepemilikan FSG, Liverpool telah menunjukkan konsistensi dalam pendekatan transfer. Klub ini jarang membeli pemain hanya karena nama besar atau popularitas semata. Sebaliknya, mereka cenderung memilih pemain dengan pengalaman signifikan, usia produktif, dan potensi peningkatan performa jangka panjang.
Florian Wirtz cocok dalam semua kriteria itu. Usianya baru 21 tahun, namun sudah mengoleksi 197 penampilan di level klub dan 31 caps untuk timnas Jerman. Jika merujuk pada komentar Jurgen Klopp beberapa waktu lalu, FSG menyukai pemain berusia 23 tahun dengan minimal 200 pertandingan—dan Wirtz hampir menyentuh standar tersebut lebih cepat dari yang diharapkan.
Konsistensi ini terlihat juga dalam daftar rekrutan sebelumnya. Dari Mac Allister, Gakpo, Mane, hingga Salah—semuanya datang dengan jumlah pertandingan senior yang padat di usia muda. Wirtz bukan pengecualian, dan bisa dibilang merupakan rekrutan paling “FSG” dari semua transfer besar Liverpool sejauh ini.
Dengan kebijakan ini, Liverpool tak hanya membeli potensi, tapi juga bukti nyata dari performa di lapangan. Dan yang lebih penting, strategi ini membantu mereka tetap kompetitif tanpa harus menghamburkan dana seperti rival-rivalnya.
Wirtz dan Pola Lama yang Selalu Berhasil
Saat Liverpool memilih untuk merekrut Wirtz, mereka bukan hanya mencari playmaker baru. Mereka juga meneruskan pola yang selama ini menghasilkan pemain-pemain kunci. Seperti Mane dan Salah yang tampil lebih efektif di posisi berbeda dari klub sebelumnya, Wirtz juga bisa saja mengalami reposisi peran di bawah Arne Slot.
Fleksibilitas posisi memang jadi salah satu ciri khas rekrutan sukses Liverpool. Roberto Firmino diubah jadi false nine, Gini Wijnaldum dari gelandang serang menjadi gelandang bertahan, dan kini Wirtz berpotensi menjadi pusat kreativitas dengan sentuhan berbeda. Meskipun ia dikenal sebagai nomor 10, Liverpool tak selalu memaksa pemain bertalenta untuk bermain di peran aslinya.
Apalagi, kemampuan Wirtz untuk bergerak ke kiri dan mencari ruang di sisi kotak penalti membuatnya mirip dengan gaya Eden Hazard di masa emasnya. Itu bisa menjadi senjata baru yang dimaksimalkan Slot di lini tengah Liverpool yang tengah dibentuk ulang.
Dengan gaya mainnya yang energik dan cerdas dalam mencari celah, Wirtz tampaknya akan menjadi poros baru dalam permainan menyerang Liverpool. Dan seperti transfer besar sebelumnya, The Reds tampaknya sudah tahu apa yang mereka lakukan.
Investasi Besar, Risiko Kecil?
Nominal transfer Wirtz jelas mencolok. Tapi jika melihat perhitungan keuangan dan nilai jangka panjangnya, ini tetap sejalan dengan pendekatan “minim risiko” Liverpool. Biaya awal £100 juta bisa naik menjadi £116 juta, namun dengan gaji yang relatif terukur untuk pemain kelas dunia, total beban finansial klub masih dalam kendali.
Selain itu, Liverpool juga mendapatkan keuntungan dari kebijakan belanja cerdas musim panas ini. Kepergian Klopp yang disertai dengan profit transfer membuka ruang bagi rekrutan besar seperti Wirtz. Bahkan dari sisi amortisasi, beban tahunan tetap terdistribusi rapi selama lima tahun kontrak.
Sebagai perbandingan, Chelsea di bawah Clearlake dan Todd Boehly banyak membeli pemain muda tanpa rekam jejak yang cukup, sementara Manchester United lebih banyak merekrut pemain senior dengan gaji tinggi dan nilai jual kembali rendah. Liverpool berada di tengah—mereka membeli mahal, tapi berdasarkan data dan pertimbangan matang.
Dan sejauh ini, strategi itu telah membawa mereka sukses. Nama-nama seperti Alisson, Van Dijk, Salah, dan Mane adalah bukti nyatanya. Kini, Wirtz diharapkan jadi batu loncatan berikutnya.