Berjuang Melawan Inflammatory Bowel Disease Sejak SMA, Steven Tafianto Wong Buktikan Hidup Bisa Normal Lagi!

3 days ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan Steven Tafianto Wong sebagai seorang pejuang Inflammatory Bowel Disease (IBD) dimulai pada tahun 2018. Saat itu, dia masih duduk di bangku SMA. Awalnya, gejala yang muncul tidak pernah mengarah pada dugaan penyakit kronis yang dikenal dengan radang usus kronis. Steven hanya mengalami keluhan mirip tipes dan infeksi virus seperti demam, lemas, dan gangguan pencernaan.

Berkali-kali dia keluar masuk rumah sakit. Namun, diagnosis tidak kunjung jelas. Berat badannya turun drastis hingga 20 kilogram dalam satu bulan. Kondisi ini membuat Steven dan keluarganya kebingungan. Dia terus berganti dokter dan pengobatan, tapi gejala tetap memburuk. 

Hingga akhirnya, setelah pemeriksaan lanjutan di luar negeri, barulah diketahui bahwa dia mengidap salah satu jenis IBD, tepatnya Crohn’s Disease. Proses pencarian diagnosis memakan waktu hampir dua bulan, disertai ketidakpastian dan tekanan fisik yang berat. Momen itu menjadi titik awal perjuangan panjang Steven menghadapi penyakit yang belum pernah dia dengar sebelumnya.

Perjalanan Pengobatan Steven: Steroid, Injeksi, hingga Intravena

Setelah diagnosis ditegakkan, Steven harus memulai rangkaian pengobatan yang intensif. Fase pertama adalah terapi oral menggunakan steroid selama tiga minggu dengan dosis bertahap menurun. Namun, perbaikan tidak signifikan, sehingga dia berpindah ke metode injeksi biologis setiap dua minggu. 

Bentuknya mirip pena insulin yang harus disuntikkan di area perut. Dosisnya pun dikurangi secara bertahap sambil dievaluasi melalui tes darah, pemeriksaan feses, hingga kolonoskopi.

Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan peradangan masih berat nilai feses calprotectin mencapai 2000, jauh di atas batas normal, dokter memutuskan untuk memulai terapi biologis melalui infus intravena. Metode ini menjadi pengobatan paling efektif bagi Steven. 

Pada fase awal, infus diberikan lebih sering untuk menekan peradangan yang agresif. Setelah stabil, dosis diatur menjadi setiap dua bulan sekali. Hingga kini, terapi intervena masih dia jalani secara rutin sebagai upaya menjaga tubuh tetap dalam fase remisi.

Tantangan Fisik, Psikologis, dan Dukungan Lingkungan

Menghadapi IBD bukan hanya soal pengobatan medis. Steven juga melewati tantangan mental yang berat. Di awal, dia sempat bingung dan denial karena sebelumnya hanya mengenal diagnosis tipes.

Ketika dokter menjelaskan bahwa penyakit ini bersifat kronis, tekanan psikologis muncul. Rasa takut, stres, dan pertanyaan tentang masa depan berputar di kepalanya.

Kondisi fisiknya yang melemah membuat Steven harus berhenti sekolah selama satu setengah bulan. Tubuhnya yang sangat kurus hanya 55 kilogram hingga sulit duduk tanpa rasa sakit menjadi bukti nyata perjuangannya. Namun, dukungan dari teman, guru, dan keluarga menjadi kekuatan besar. 

Pihak sekolah menyediakan kursi khusus agar dia bisa belajar dengan nyaman, sementara teman-temannya selalu mengingatkan agar dia menjaga makan. Lingkungan yang suportif membuat Steven tetap semangat menjalani terapi dan perlahan membangun kembali kehidupannya di tengah pertempuran melawan IBD.

Perubahan Gaya Hidup dan Harapan Menuju Remisi

Selama delapan tahun perjalanan melawan IBD, Steven belajar bahwa pengobatan saja tidak cukup. Dia mulai menjalani perubahan gaya hidup, khususnya pada pola makan. Junk food, makanan olahan seperti sosis, serta makanan yang tidak fresh dia hindari.

Sebagai gantinya, Steven memilih makanan yang dimasak segar, sayur, buah, dan menu sederhana yang ramah untuk usus.

Selain itu, Steven menjaga pola tidur, mengelola stres, dan tetap aktif bergerak. Ia menemukan cara menenangkan pikiran lewat olahraga ringan seperti lari, badminton, hingga home workout. Menurutnya, stres adalah faktor pemicu flare, meski beruntung dia jarang mengalaminya.

Kini, pengobatan Intravena masih dijalaninya setiap dua bulan sekali. Steven berharap kolonoskopi berikutnya menunjukkan hasil baik agar dia bisa benar-benar memasuki fase remisi tanpa obat.

Dengan disiplin, dukungan orang-orang terdekat, dan tekad kuat, Steven terus membuktikan bahwa hidup dengan IBD tetap bisa dijalani dengan penuh harapan.

Read Entire Article