
JIKA dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan, di usianya yang ke-80 tahun merdeka dari penjajahan, rakyat Indonesia tentu telah merasakan perubahan dan kemajuan yang dahsyat. Masyarakat kini makin sejahtera dan kemiskinan dari tahun ke tahun bisa diturunkan.
Menurut data BPS, pada 2015 angka kemiskinan tercatat masih 11,22%, tetapi kini per Maret 2025, angka kemiskinan di Indonesia bisa ditangani hingga menjadi 8,47% dari total populasi, atau sekitar 23,85 juta jiwa.
Per September 2024, angka kemiskinan dilaporkan turun sekitar 0,21 juta orang. Sementara itu, bila dibandingkan dengan Maret 2024 terjadi penurunan sekitar 1,37 juta orang.
Untuk kemiskinan ekstrem, saat ini angkanya tercatat sebanyak 0,85% atau menurun 0,41% poin jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di tengah kondisi perekonomian dunia yang sedang lesu, tren penurunan angka kemiskinan tentunya patut disambut gembira. Berbagai program yang digulirkan pemerintah, dalam batas-batas tertentu, terbukti efektif membantu memperpanjang napas daya tahan dan bahkan mengurangi jumlah penduduk miskin.
SEJUMLAH TANTANGAN
Saat ini, harus diakui kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Perubahan kondisi perekonomian global, penerapan kebijakan tarif Donald Trump, perang Israel-Iran dan Rusia-Ukraina, dan lesunya permintaan pasar secara akumulatif menyebabkan Indonesia harus menghadapi tantangan yang tidak ringan. Apakah berbagai perubahan global itu akan memengaruhi resiliensi dan kemampuan pemerintah untuk terus mengurangi jumlah penduduk miskin, tentu waktulah yang akan membuktikan.
Bisa dipastikan, ke depan dibutuhkan effort yang lebih untuk menjaga agar tren penurunan penduduk miskin di Indonesia dapat direalisasi. Ke depan sejumlah tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat ialah berikut ini.
Pertama, soal kemiskinan dan ketimpangan yang belum berjalan berseiringan. Meskipun selama ini telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, yang menjadi masalah ialah ketimpangan pendapatan dan ketimpangan antarwilayah masih perlu menjadi perhatian. Saat ini, rasio Gini mencapai 0,375 --menurun dari 0,381 pada September 2024. Kesenjangan perkotaan-perdesaan masih terjadi di berbagai daerah. Persentase penduduk miskin di perkotaan umumnya lebih rendah (6,73%) jika dibandingkan dengan perdesaan (11,03%).
Dengan digulirkan berbagai paket bantuan sosial kepada keluarga miskin, memang secara temporer beban tekanan kebutuhan hidup dapat dikurangi. Namun, secara objektif harus diakui bahwa jika dibandingkan dengan banyaknya program yang digulirkan, ternyata hasilnya masih belum dapat menjamin tumbuhnya keberdayaan dan penghidupan yang layak bagi penerima manfaatnya.
Di berbagai daerah, pembagian kue nasional pembangunan harus diakui masih belum merata. Sering terjadi, ketika industrialisasi masuk ke sebuah wilayah, masyarakat lokal ternyata masih banyak yang menjadi penonton di luar. Ketimpangan masih nyata terlihat. Akibat kondisi dan profil tenaga kerja lokal yang masih didominasi pekerja berlatar belakang pendidikan SMP, atau bahkan SD dan tidak sekolah, jangan heran jika peluang mereka terserap pada sektor industri yang masuk menjadi sangat terbatas. Invasi pabrik-pabrik di berbagai daerah, sering malah menimbulkan suksesi kepemilikan aset dan merusak pola mata pencaharian penduduk lokal yang masih tradisional dan konvensional.
Kedua, soal keadilan sosial yang belum sepenuhnya terwujud. Dalam pendekatan yang meritokratis, semua orang memang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing satu dengan lain. Namun, karena basis modal sosial yang dimiliki berbeda dan struktur sosial yang ada juga terpolarisasi, konsekuensinya persaingan sering berjalan tidak adil. Pelaku ekonomi yang hanya mengandalkan modal yang terbatas sering harus menerima nasib kalah bersaing dengan pelaku usaha yang didukung modal dan jaringan raksasa.
Di berbagai daerah, sudah bukan rahasia lagi kalau toko-toko kelontong dan warung kalah bersaing dengan minimarket yang menyebar hingga berbagai wilayah. Kehadiran Indomaret, Alfamart, Alfamidi, FamilyMart, Lawson, Circle K, dan lain-lain sering kali merebut pangsa pasar yang tersisa bagi pelaku usaha mikro dan kecil sehingga kesempatan untuk mengembangkan usaha seolah tertutup.
Sementara itu, di kota-kota besar, tidak sedikit masyarakat kecil juga terpaksa tunduk pada pemilik aplikasi yang membuka peluang di bisnis pengantaran makanan dan barang karena tidak adanya pilihan kerja di sektor yang lain. Alih-alih mereka bertahan karena pembagian komisi yang menguntungkan, dalam praktik sering terjadi orang-orang yang terlibat dalam jaringan transportasi online mampu bertahan karena dukungan tip-tip dari konsumen yang baik hati. Dalam bekerja, ketika sepeda motor mereka rusak, misalnya, si pemilik aplikasi tidak akan menanggung biaya perbaikan, sementara orang-orang yang disebut menjadi mitra harus sendiri menanggung biaya perawatan dan biaya perbaikan kendaraannya.
Ketiga, soal redistribusi kesejahteraan yang berpihak kepada masyarakat miskin. Di tengah kondisi masyarakat yang terpolarisasi, harus diakui struktur ada menjadi lebih kaku, rigid, dan tidak banyak memberi peluang kepada masyarakat menengah ke bawah untuk berkembang dan mengembangkan dirinya. Para pelaku ekonomi kelas atas cenderung agresif dan ekspansif sehingga kesempatan pelaku ekonomi mikro dan kecil untuk berkembang menjadi lebih kecil.
Investasi yang semestinya menjadi andalan untuk menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi Masyarakat harus diakui tidak sepenuhnya ramah kepada penduduk lokal. Di berbagai daerah, kita bisa melihat ketika pabrik-pabrik banyak berdiri, ternyata sebagian besar sifatnya padat modal. Tidak banyak kesempatan bagi penduduk lokal untuk dapat terlibat dalam proses industrialisasi yang kebanyakan perekonomian firma.
Untuk memastikan agar penduduk lokal tidak ketinggalan dan mengalami proses marginalisasi, kuncinya ialah bagaimana memastikan keuntungan dari masuknya investasi itu diperuntukkan mendukung pemberdayaan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi.
Sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) dari industri migas yang masuk ke sebuah wilayah hingga triliunan rupiah, misalnya, perlu dipastikan peruntukannya agar dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan usaha penduduk lokal.
Kasus yang terjadi di Papua, Aceh, dan lain-lain seyogianya menjadi pelajaran agar tidak diulang di tempat yang lain. Jangan sampai terjadi, daerah-daerah yang kaya sumber daya alam diisap kekayaannya untuk kepentingan investasi dan pendapatan pusat, sementara nasib masyarakat di daerah justru dilupakan.
MERDEKA
Di usianya yang ke-80, Indonesia tentu telah banyak belajar dan menjadikan pengalaman selama ini sebagai tempat berkaca. Apa yang baik tentu harus dilanjutkan dan yang keliru harus ditinggalkan untuk tidak diulangi. Merdeka secara filosofis adalah keadaan rakyat telah memperoleh dan dijamin haknya dengan baik.
Merdeka berarti rakyat tidak tertekan dan mereka menikmati kehidupan yang lebih sejahtera. Merdeka harus diwujudkan dalam bentuk rakyat memperoleh akses pendidikan yang merata, lapangan kerja yang layak, layanan kesehatan yang setara, dan perlindungan yang baik bagi kelompok masyarakat rentan. Jika kemerdekaan hanya dirasakan segelintir elite atau kelompok tertentu, yang terjadi sesungguhnya paradoks dan ketidakadilan.
Merdeka dan keadilan ialah konsep yang seharusnya berjalan paralel. Dalam sebuah negara yang merdeka, yang seharusnya terjadi ialah distribusi kekayaan yang benar-benar adil, penghapusan eksploitasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara layak. Merdeka tidak cukup hanya diwujudkan dengan indikator tercapainya angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, atau diperlihatkan melalui pembangunan gedung-gedung bertingkat yang megah, tetapi justru menyembunyikan penderitaan rakyat yang mengalami marginalisasi. Merdeka bagi negara, harus paralel dengan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa merdeka itu artinya bebas dari penjajahan, bebas dari kemiskinan, bebas dari kelaparan, bebas dari tidak punya pekerjaan, serta juga bebas dari kebodohan. Komitmen Presiden itu seyogianya menjadi pedoman bagi para penyelenggara pembangunan di Tanah Air untuk menempatkan rakyat benar-benar sebagai subjek pembangunan. Jangan sampai terjadi, setelah kita merdeka hingga 80 tahun, ternyata rakyat masih mengalami marginalisasi dan merasa diperlakukan tidak adil.