Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan Buatan (AI) menjelma menjadi pedang bermata dua dalam lanskap identitas digital modern. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan solusi revolusioner untuk memperkuat sistem verifikasi, meningkatkan akurasi, dan menjaga keamanan data pribadi.
Namun, di sisi lain, AI juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk melancarkan serangan yang semakin canggih dan sulit dideteksi, menargetkan identitas digital individu dan organisasi.
Identitas digital telah menjadi 'pintu depan' utama bagi hampir setiap titik akses digital, baik untuk manusia maupun mesin, menjadikannya target empuk bagi penjahat siber.
Dengan semakin meluasnya penggunaan platform digital dan layanan berbasis cloud, permukaan serangan pun ikut melebar, meningkatkan risiko terjadinya pelanggaran data dan penipuan.
Menurut Country Manager CyberArk Indonesia, Hendry Wijawijaya, identitas digital adalah pintu gerbang utama masuknya ancaman.
"Bila tidak dikelola dengan cerdas, organisasi bisa menjadi korban serangan AI dalam hitungan menit," ujarnya, dikutip Kamis (14/8/2025).
Laporan terbaru dari CyberArk 2025 State of Machine Identity Security menunjukkan bahwa rasio identitas mesin terhadap manusia kini mencapai 82:1 secara global.
Membuka Celah Besar
Dari laporan tersebut bisa disimpulkan bahwa jumlah kredensial keamanan token Application Programming Interface (API), sertifikat digital, dan akun otomatisasi jauh lebih banyak dari identitas karyawan (manusia).
Mirisnya, 65% organisasi di seluruh dunia tidak memiliki program keamanan yang memadai untuk mengelola identitas mesin ini.
Kondisi ini membuka celah besar bagi peretas untuk memanfaatkan AI. Mereka dapat meniru identitas sah, mencuri kredensial, atau mengakses sistem internal tanpa terdeteksi. Peningkatan serangan siber di Indonesia pun menjadi bukti nyata.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat 3,64 miliar anomali trafik siber dari Januari hingga Juli 2025, yang hampir menyamai total serangan dalam lima tahun terakhir.
Regulasi Belum Memadai, Apa Solusi yang Tepat?
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), regulasi yang secara khusus mengatur AI masih belum ada. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memang telah merilis draf pedoman etika AI, tetapi sifatnya masih non-mandatori.
"Di tengah ketiadaan regulasi AI yang mengikat, tanggung jawab etis ada di tangan perusahaan," Hendry menegaskan.
Ia mengimbau perusahaan harus proaktif memastikan AI yang mereka gunakan--mematuhi prinsip transparansi, keamanan, dan akuntabilitas.
CyberArk merekomendasikan strategi keamanan Zero Trust yang tidak memberikan akses permanen tanpa verifikasi. Dengan strategi ini, perusahaan dapat memantau identitas, mengotomatisasi pembaruan kredensial, dan mendeteksi anomali perilaku berbasis AI sebelum menjadi serangan besar.
Hendry menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin keamanan identitas di Asia Tenggara. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika perusahaan mulai membangun kapabilitas keamanan siber dari sekarang.