TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi dan pakar hukum tata negara Denny Indrayana mempertanyakan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang minim partisipasi publik. Denny yang hadir sebagai ahli dari pemohon 75/PUU-XXII/2025 dalam keterangannya mempertanyakan seberapa banyak masyarakat yang tahu dan dilibatkan dalam proses pembentukan UU TNI.
“Seberapa mudah dokumen dan naskah akademik rancangan undang-undang didapatkan masyarakat? Seberapa transparan proses pembahasan di DPR dapat diakses oleh publik? Apakah publik tahu dan dilibatkan?” ucap Denny yang hadir melalui via online di Sidang Lanjutan uji formiil UU TNI di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 7 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denny juga mempertanyakan apa yang menjadi faktor utama dari perubahan UU TNI dilakukan di masa awal Presiden Prabowo Subianto melalui surat Nomor R-12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari. Apalagi kata dia, beleid itu pada tanggal 26 Maret 2025 (kurang dari 1,5 bulan) sudah diundang-undangkan?
“Faktor waktu yang juga penting dicermati adalah berapa lama suatu pembahasan rancangan undang-undang dilakukan. Logika sederhananya, makin pendek dan kilat, makin sulit diharapkan adanya partisipasi publik yang bermakna," ujarnya.
Sebelumnya pihak pemerintah melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, penyerapan aspirasi telah ditegaskan oleh pemerintah dengan diterbitkannya keterangan Presiden Nomor 1 huruf c angka 3 terkait tahap penyusunan UU TNI. Sehingga, dia mengklaim, pemerintah telah membuka ruang partisipasi publik dalam pembentukkan UU TNI dengan seluas-luasnya.
"Sudah memenuhi asas dan prinsip yang diatur pada undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Supratman pada persidangan lanjutan gugatan uji formil UU TNI di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin, 23 Juni 2025.
Sejak disahkan DPR pada 21 Maret 2025 lalu, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke MK. Tercatat, 11 gugatan dilayangkan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
Dari 11 gugatan itu, 5 gugatan berlanjut pada sidang lanjutan, 5 gugatan ditolak Mahkamah, dan 1 gugatan yang diajukan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya dicabut oleh pemohon.