TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat bakal membentuk tim supervisi penulisan ulang sejarah Indonesia. Komisi III dan Komisi X disebut akan dilibatkan dalam tim pengawasan tersebut.
Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani mengatakan, tim supervisi itu bertugas untuk mengawasi proyek penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah. "Juga memastikan tidak ada kendala, tidak ada sejarah yang dihilangkan dan sebagainya," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB ini saat ditemui di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis, 10 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut dia, belum ada arahan lebih lanjut dari pimpinan DPR perihal tim pengawas penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut. Dia mengatakan saat ini mereka masih menunggu instruksi dari pimpinan DPR.
Rencana DPR membentuk tim supervisi penulisan sejarah diungkapkan oleh Sufmi Dasco Ahmad. Wakil Ketua DPR ini mengatakan, dibentuknya tim ini untuk memastikan penulisan ulang sejarah oleh pemerintah ditulis dengan baik.
Selain itu, Dasco berharap dengan adanya tim supervisi dapat membuat penulisan ulang sejarah tidak menjadi polemik lagi . Ia juga menjanjikan hal-hal yang menjadi kontroversi dalam penulisan ulang sejarah akan menjadi perhatian khusus bagi tim pengawas dari legislatif.
Proyek yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon ini mendapat kritik dari publik. Hal ini ditengarai karena adanya sejumlah peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang tidak tertuang berdasarkan draf per Januari lalu.
Kritik publik meluas saat Fadli Zon menyebutkan peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 merupakan rumor. Politikus Partai Gerindra ini belakangan menjelaskan bahwa tidak bermaksud menyangkal keberadaan kasus pemerkosaan pada tragedi Mei 1998.
Dia menuturkan fakta sejarah harus bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. Sedangkan menurut dia, penyebutan kata ‘massal’ masih menjadi perdebatan di kalangan akademik selama dua dekade terakhir.
Salah satu kritik datang dari aktivis perempuan Eva Sundari. Dia menilai penulisan ulang sejarah mengabaikan perspektif korban, terutama perempuan.
Penulisan ulang sejarah yang diinisiasi pemerintah, kata dia, lebih menonjolkan narasi pelaku sehingga dikhawatirkan mengandung kekeliruan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
“Penulisan sejarah ini, kok, perspektifnya, perspektif pelaku, bukan perspektif korban. Dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” kata Eva melalui keterangan tertulis di Jakarta pada Selasa, 16 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Sejarawan Andi Achdian turut mengkritik penulisan ulang sejarah Indonesia. Dia mengkhawatirkan sejarah yang ditulis ulang oleh pemerintah menjadi upaya pembersihan sesuatu hal dari catatan peristiwa masa lalu bangsa.
Selain itu, Andi menilai proyek penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya terburu-buru, belum berpijak pada kesadaran etis, dan cenderung hanya berlandaskan teknikalitas. “Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas,” ujarnya.
Adapun draf sejarah ulang Indonesia ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 atau bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-80 Indonesia. Kementerian Kebudayaan akan menggelar uji publik untuk menguji draf akhir yang disusun oleh sejarawan.
Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.