Liputan6.com, Jakarta - Ginjal bocor rentan terjadi pada anak-anak. Penyakit yang dikenal dengan istilah medis Sindrom Nefrotik ini memiliki gejala-gejala yang bisa dan tidak bisa dilihat.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K),M.Kes, mengatakan, untuk gejala yang terlihat adalah bengkak yang berawal di kelopak mata, urine yang berbusa, dan terkadang volume urine berkurang.
"Tetapi ada pula yang sulit dilihat. Nah, yang tidak terlihat itulah yang lebih berbahaya," kata dr. Ahmedz dalam seminar media bertema 'Sindrom Nefrotik/Kebocoran Protein Pada Anak' pada Selasa, 8 Juli 2025.
Untuk penyebab ginjal bocor pada anak, dr. Ahmedz menegaskan bahwa sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). "Sebagian besar bukan masalah genetik. Hanya sekitar 20 persen yang merupakan masalah genetik atau mutasi," kata dr. Ahmedz.
"Tapi, apakah itu masalah epigentik? Epigenetik itu penelitiannya sangat mahal dan masih sedikit," tambahnya.
Apa yang Terjadi Sehingga Ginjal Dapat Bocor
Penyakit ginjal bocor ini menyebabkan kandungan protein dalam darah yang seharusnya kembali ke dalam tubuh banyak keluar bersamaan dengan urine.
dr. Ahmedz menyebut kondisi ini terjadi saat bagian terkecil dari ginjal bernama glomerulus yang merupakan tempat seluruh darah dalam tubuh disaring sebelum diberedarkan kembali ke seluruh bagian tubuh mengalami kerusakan.
"Dalam keadaan bocor ginjal, darah di sini (glomerulus) dibersihkan, tapi proteinnya yang seharusnya beredar kembali dalam darah, dikeluarkan ke urin," ujarnya.
Akibatnya, darah yang kembali beredar adalah darah yang hanya memiliki kandungan protein yang sedikit. "Karena sedikit protein, maka tekanan onkotik di dalam pembuluh darah menjadi berkurang," katanya.
Berkurangnya tekanan onkotik atau tekanan di dalam tubuh yang fungsinya menahan cairan dalam darah agar tidak keluar jaringan.
Membuat cairan dalam pembuluh darah berpindah ke rongga-rongga lain, seperti ke rongga perut, rongga paru, rongga jantung, hingga ke bawah kulit. "Pembuluh darah yang sedikit cairannya itu menyebabkan suatu keadaan yang namanya volume depletion," kata dr. Ahmedz.
Dia juga mengatakan jika terus terjadi volume depletion atau keadaan di mana cairan di dalam pembuluh darah berkurang secara signifikan ini akan menyebabkan darah yang bergerak ke seluruh tubuh berkurang.
Bahaya Ginjal Bocor pada Anak
Menurut dr. Ahmedz adapun bahaya dari kondisi volume depletion sebagai akibat dari ginjal bocor ini terbagi menjadi dua, ada yang jangka pendek dan ada yang jangka panjang.
Bahaya jangka pendeknya yaitu gangguan ginjal akut, syok yang menyebabkan darah tidak bisa beredar ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa mengaliri organ-organ penting yang ada tubuh terutama organ vital seperti otak dan jantung.
Bahaya jangka pendek lain dari kondisi ini adalah gangguan napas. Ini terjadi karena adanya tekanan yang diakibat keadaan perut yang besar, hal ini dapat menyebabkan paru-paru tidak bisa mengembang atau ada rongga di dalam pleura (lapisan tipis yang membungkus paru-paru).
"Itu banyak cairannya sehingga paru tidak bisa mengembang dengan baik, sehingga terjadi gangguan nafas," kata dr. Ahmedz.
Bahaya jangka penjang pada kondisi ginjal bocor turut dijelaskan oleh dr. Ahmedz. Dia menegaskan bahwa bahaya jangka panjang ini perlu diwaspadai.
"Dampaknya mungkin baru berasa 2 hingga 5 tahun kemudian," katanya.
Bahaya jangka panjang yang disebabkan oleh kondisi ginjal bocor ini adalah gangguan ginjal akut, ginjal kronik, dan penyakit ginjal tahap akhir yang memerlukan cuci darah secara terus menerus.
dr. Ahmedz mengatakan bahwa bahaya jangka panjang yang paling ringan sendiri adalah gangguan ginjal akut. "Ringan pun lumayan dampaknya, bahkan bisa sampai cuci darah," jelasnya
Bagaimana Cara Mencegah Bocor Ginjal pada Anak?
dr. Ahmedz menegaskan bahwa Sindrom Nefrotik atau ginjal bocor ini sulit untuk dicegah karena penyebabnya masih belum diketahui hingga kini.
"Tapi, kita bisa melakukan penapisan atau skrining secara dini, untuk melihat apakah protein dalam tubuh lolos (keluar dalam jumlah banyak) dalam urine, tapi tidak menimbulkan gejala atau secara kasat mata terlihat sehat-sehat saja," ujarnya.
Menurut dr. Ahmedz, penderita ginjal bocor yang tidak menunjukkan gejala merupkan hal yang menjadi masalah dalam mendeteksi kondisi ini secara dini.
"Kita tidak pernah tahu apakah sehat atau tidak," kata dr. Ahmedz.
"Kami pernah melakukan suatu studi di sebuah sekolah menengah atas di Jawa Barat, hasilnya sekitar 12 persen siswa sekolah tersebut mengalami sindrom nefrorik tetapi tidak ketahuan," tambahnya.
Untuk pencegahan terjadinya ginjal bocor ini, dr. Ahmedz membagi metode pencegahan ini ke dalam dua jenis, yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah skrining protein dalam urine sebanyak sekali dalam setahun. Pencegahan ini dilakukan untuk mendeteksi apakah seseorang menunjukkan gejala ginjal bocor atau tidak.
Kemudian, ada pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder dilakukan pada seseorang sudah mengalami ginjal bocor, pencegahan ini dilakukan guna mengurangi risiko serius pada penderita bocor ginjal.
dr. Ahmedz sendiri menyebut penderita ginjal bocor ini akan mengalami kekambuhan, dengan begitu pencegahan sekunder ini dilakukan untuk mengurangi frekuensi kekambuhan.
"Pencegahan sekunder ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penyulit bagi pengidap sindrom nefrotik, bagaimana agar tidak terjadi penyakit ginjal kronik pada penderita," kata dr. Ahmedz.