TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar memperhatikan ketentuan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) dalam merealisasikan kesepakatan dagang antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke Paman Sam. Puan menegaskan bahwa kesepakatan itu tetap harus berpijak pada ketentuan Undang-Undang PDP.
"Pemerintah harus bisa melindungi data pribadi warga negara Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi," kata Puan di Kompleks DPR, Jakarta, pada Kamis, 24 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menjelaskan aturan pelindungan data pribadi dan cara pengimplementasiannya dalam kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat tersebut. "Apakah memang data pribadi warga negara Indonesia itu sudah terlindungi dan sampai mana batasnya?" ujar Puan.
Dua hari lalu, pemerintah Amerika Serikat merilis pernyataan bersama berjudul Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade atau Kerangka kerja Perjanjian Dagang Resiprokal antara Indonesia-Amerika Serikat di laman whitehouse.gov. Kerangka kerja perjanjian dagang itu terdiri atas 12 poin utama, di antaranya tarif barang-barang Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat sebesar 19 persen. Lalu semua barang-barang dari Amerika Serikat yang diekspor ke Indonesia bebas tarif atau nol tarif. Di samping itu, Indonesia juga dibebankan berbagai komitmen lainnya.
Di poin ketujuh kerangka kerja perjanjian dagang ini disebutkan bahwa Indonesia akan mengizinkan transfer data pribadi warga ke Amerika Serikat, lalu menghapus tarif produk digital, mendukung moratorium bea transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta menghapus tarif dan deklarasi untuk produk tak berwujud.
“Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kesanggupan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat, dengan mengakui AS sebagai negara yang memiliki pelindungan data yang memadai sesuai hukum Indonesia,” demikian tertulis dalam kerangka kerja perjanjian dagang itu.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono ikut mengingatkan pemerintah mengenai ketentuan Undang-Undang PDP. Politikus Partai Golkar itu mengingatkan agar semua kebijakan pemerintah mengenai data pribadi harus selaras dengan undang-undang tersebut.
"Gunanya Undang-undang PDP untuk memastikan, pemerintah itu memiliki otoritas yang khusus dan standarisasi yang tinggi dalam perlindungan data pribadi," kata Dave di Kompleks DPR, Kamis, 24 Juli 2025.
Meski muncul keresahan warga akibat perjanjian dagang itu, tapi Dave berdalih komisinya belum bisa mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menjelaskan secara detail kesepakatan dagang tersebut. "Kami masih menunggu detail teknisnya seperti apa. Akan tetapi kami memiliki Undang-Undang PDP yang sudah disahkan dan itu yang menjadi pegangan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya," ujarnya.
Kritikan terhadap perjanjian dagang tersebut datang dari masyarakat sipil. Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan data pribadi warga negara tidak boleh dijadikan objek kesepakatan perdagangan atau ekonomi antar-negara. “Kedaulatan data pribadi adalah bagian dari kedaulatan negara. Presiden Prabowo berpotensi menyerahkannya kepada pihak asing,” kata Ardi dalam siaran pers, Kamis, 24 Juli 2025.
Imparsial menilai kesepakatan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang PDP. Apalagi sistem pelindungan data di Amerika Serikat yang lemah karena belum memiliki regulasi federal secara menyeluruh. “Jika terjadi penyalahgunaan data, Undang-Undang PDP Indonesia tidak bisa menjangkau yurisdiksi di sana,” ujar Ardi.
Ia pun mendesak pemerintah membatalkan klausul kerja sama perdagangan bilateral tersebut. Sebab perjanjian dagang itu sudah mengancam hak privasi, keamanan data, dan prinsip kedaulatan nasional.
Anatasya Lavenia Yudi dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa Lembaga Pelindungan Data Pribadi Tak Kunjung Terbentuk