TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi dan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengingatkan pentingnya naskah akademik dalam setiap penyusunan Undang-Undang. Hal itu ia sampaikan saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Gedung Mahkamah Konstitusi pada selasa, 1 Juli 2025.
Menurutnya, legislasi adalah produk dari kebijakan atau keputusan politik yang harus dipertanggungjawabkan maka naskah akademik sebagai awal mula lahirnya undang-undang sangat penting keberadaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“izinkan saya menegaskan bahwa naskah akademik sebenarnya adalah sebuah policy paper atau makalah kebijakan,” ucapnya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 1 Juli 2025.
Namun menurut pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu, dalam kenyataannya naskah akademik setiap kali hanya dibuat sebagi syarat agar pembentukan peraturan perundang-undangan terpenuhi. Meskipun, ia melanjutkan isinya terkadang tak mencerminkan apa yang kemudian diterjemahkan menjadi norma-norma dalam Undang-Undang.
“Memang bisa dimaklumi sebagai sebuah proses politik dokumen-dokumen dalam proses legislasi tak bisa dinilai dengan parameter yang kaku seperti dalam rubrik penilaian,” kata Bivitri.
Lebih lanjut, ia menawarkan tiga ukuran yang bisa digunakan untuk menilai naskah akademik secara kualitatif. Pertama yaitu adanya keterkaitan dengan naskah Undang-Undang, kemudian dari segi pembuatannya, ia dibuat sebelum naskah rancangan Undang-Undang (RUU) dibuat, dan yang terakhir yaitu publikasi.
“Kalau kita mengikuti pelatihan-pelatihan suncang atau legislative drafting, kita akan paham awalnya adalah naskah akademik, baru kemudian naskah undang-undang,” ujarnya.
Dalam pantauan Tempo, hal yang paling disorot oleh Bivitri dalam persidangan adalah minimnya publikasi dan partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang. Ia mengatakan mestinya proses pembuatan undang-undang harus sesuai dengan prinsip konstitusional dan tidak terkesan tertutup.
“Kenapa tidak mau diawasi? Kenapa harus buru-buru dan tertutup sampai naskah pun tidak dipublikasikan? Apa ini berarti ada yang ingin disembunyikan? Jawaban konkrit mengenai apa yang disembunyikan dari setiap Undang-Undang pasti membutuhkan analisis tersendiri,” tutur Bivitri.
Lebih lanjut, ia mencatat selama periode pemerintahan ini ada tiga peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara ugal-ugalan. Ia menekankan pentingnya keterbukaan dan publikasi dalam proses legislasi.
“Cara pembentukan Undang-Undang yang kurang partisipasi itu selalu digaungkan dan dipertanyakan, sehingga muncul catatan di masyarakat, kenapa hal ini selalu berulang,” jelasnya.
Sebelumnya, Gugatan terhadap UU TNI itu diajukan oleh berbagai kampus dan koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Dilansir dari laman mkri.id, terdapat enam perkara uji formal yang dijadwalkan pada hari ini dengan agenda sidang mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pemohon. Adapun enam perkara tersebut yakni perkara 45, 56, 69, 75 ,81, dan 92.
Sejak disahkan oleh DPR pada 21 Maret 2025, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke MK. Tercatat 11 gugatan dilayangkan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil. Dari 11 gugatan itu, 5 gugatan berlanjut pada sidang lanjutan, 5 gugatan ditolak MK, dan 1 gugatan yang diajukan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, dicabut oleh pemohon.