Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tidak kekurangan ahli gizi untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Bidang Ilmiah, Dr. Marudut Sitompul, MPS., mengatakan bahwa jumlah ahli gizi yang terdaftar adalah 53.000.
“Jumlah kita (ahli gizi) sampai saat ini yang terdaftar 53.000 di seluruh Indonesia. Tersebar di 34 provinsi, kita punya DPD (dewan perwakilan daerah) di tiap provinsi dan di tiap DPD itu kita mempunyai dewan pimpinan cabang (DPC) di kabupaten dan kota,” kata Marudut dalam Temu Ilmiah Persagi 2025 di Jakarta, Jumat (11/7/2025).
“Kita ingin membantu pemerintah untuk kemajuan dan sebagai dukungan dari profesi kami terhadap pelaksanaan MBG,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaan MBG, para ahli gizi memiliki peran dalam menyusun menu. Sementara, standar menu sudah disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Lebih dari itu, Marudut berharap agar ke depannya Persagi dilibatkan pula dalam monitoring MBG.
“Yang kami harapkan, kami dilibatkan dalam monitoring. Kami sebenarnya ingin berkontribusi di situ karena kita tahu, sasaran MBG itu kan bukan anak yang kurus semua, tidak yang kurang gizi, ada juga yang cukup, ada yang udah gemuk, ini kan harus dimonitor supaya status gizinya (terpantau),” jelas Marudut.
Dengan kata lain, setiap anak memiliki kebutuhan gizi berbeda. Misalnya pada para atlet, bisa saja porsi normal itu kurang diikuti pula dengan kandungan gizi yang perlu disesuaikan.
“Kan ada sekolah atlet,” katanya.
Lagi-lagi kasus dugaan keracunan usai menyantap hidangan makan bergizi gratis kembali berulang, sedikitnya 171 orang siswa dan guru dari enam sekolah di Kota Bogor mengalami gejala keracunan.
Monitoring oleh Ahli Gizi Sudah Ada dalam Konsep MBG
Selama ini, pihak Persagi belum dilibatkan dalam monitoring MBG. Marudut pun memaklumi lantaran ini program baru.
“Karena ini kan program baru, beberapa bulan, suatu program baru tidak mungkin langsung sempurna. Tapi itu sudah ada di dalam konsepnya. Bahkan sudah dikasi link-nya, kalau mau jadi tim monitoring itu perlu bersaing mana yang terbaik, itu dipilih oleh pemerintah.”
Sejauh ini, pelibatan ahli gizi dalam program MBG hanyalah satu orang untuk satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Di mana satu SPPG umumnya bertanggung jawab menyiapkan 3000 porsi makanan.
“Satu ahli gizi itu dalam satu SPPG, satu SPPG itu kan bisa melayani sampai 3000 porsi. Ahli gizi di sana kerjanya tuh ‘jungkir balik’ dia harus melihat bagaimana makanan disiapkan dengan baik, mengumpulkan sampel untuk diperiksa.”
Minimal Jumlah Ahli Gizi yang Dibutuhkan dalam Satu SPPG
Marudut pun berpendapat, sebuah SPPG akan lebih baik jika minimal memiliki dua ahli gizi.
“Sebenarnya, minimal di satu SPPG itu ada dua ahli gizi. Sebagai pembanding, di rumah sakit pun ada instalasi gizi yang menyediakan makanan, apakah pernah kita lihat ada keracunan makanan? Enggak, kenapa? Ahli gizinya cukup. Mereka akan bekerja dan bersinergi.”
“Tetapi di sini (SPPG), satu ahli gizi, mereka tidak punya teman untuk berkomunikasi soal makanan (yang dipantau),” ujarnya.
Pentingnya Perhatikan Status Gizi Anak
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP Persagi, Dr. Ir. Doddy Izwardi, MA., menyampaikan bahwa kesehatan dan gizi yang optimal merupakan hak dasar bagi setiap individu. Terutama bagi kelompok rentan termasuk anak-anak, ibu hamil, menyusui, dan balita.
“Ahli gizi bisa melihat dan mengukur status gizi, yang kita jaga adalah keamanan pangannya,” kata Doddy.
Dampak status gizi bila tidak diperhatikan dapat menimbulkan masalah pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif dan kemampuan belajar anak. Oleh karena itu, penyediaan makanan bergizi menjadi salah satu strategi penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas generasi muda Indonesia.
Masalah dan perkembangan status gizi masyarakat di Indonesia sampai saat ini belum menggembirakan. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, menyatakan 21,6 persen anak di Indonesia stunting. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, ini tergolong dalam kriteria tinggi.
Walaupun angka ini sudah menurun dibanding tahun 2021 yang mencapai 24,4 persen. Namun, status gizi dan kesehatan ibu hamil masih sangat memprihatinkan. Hampir separuh Ibu hamil menderita anemia gizi, sebagai salah satu faktor tingginya prevalensi bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR). Di sisi lain, kejadian obesitas pada usia dewasa meroket dari 14,8 persen tahun 2013 menjadi 21,8 persen tahun 2018. Kondisi ini berdampak pada semakin meningkatnya jumlah pasien hipertensi, diabetes melitus (DM), stroke, dan jantung serta penyakit lainnya.
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya masalah gizi, meliputi:
- Ketahanan pangan tingkat rumah tangga;
- faktor pola asuh;
- cakupan dan kualitas pelayanan gizi;
- kondisi lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan termasuk sanitasi dan air bersih.
Saat ini, lanjut Doddy, pemerintah sudah memiliki program MBG. Dan dalam mendukung program ini, pihaknya akan menyusun policy brief yang merupakan hasil dari temu ilmiah nasional bertajuk Kemandirian Ahli Gizi Mengawal Program Makan Bergizi Berkesinambungan yang digelar pada 11-12 Juli 2025 di Jakarta Selatan.