Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Iran telah mengonfirmasi ada tiga fasilitas nuklir utama yang menjadi sasaran serangan Amerika Serikat. Adapun tiga fasilitas itu adalah Fordow, Isfahan, dan Natanz.
Serangan ini disebut-sebut melibatkan bom sebesar 13 ton, salah satu yang terbesar di dunia. Bom itu dijatuhkan ke fasilitas nuklir yang berada hampir 100 meter di bawah tanah.
Meski tidak menyasar reaktor nuklir aktif, serangan ini memicu kekhawatiran global. Sebab, ada ketakutan serangan ini akan berdampak seperti pembangkit listrik tenaga listrik yang ada di Fukushima, Jepang atau Chernobyl.
Kendati demikian, seperti dikutip dari ABC News, Selasa (24/6/2025), para peneliti menyebut dampak dari serangan di Iran itu tidak akan seperti yang terjadi di Jepang maupun Chernobyl.
"Fasilitas pengayaan uranium di Iran tidak memiliki reaktor, tidak menyimpan limbah radioaktif tingkat tinggi, dan tidak dirancang menghasilkan listrik. Jadi, tidak berpotensi meledak atau meleleh seperti Chernobyl," tutur Profesor dari University of Liverpool dan ahli perlindungan radiasi Pete Bryant.
Bukan Berarti Tanpa Risiko
Ia menjelaskan, ketiga fasilitas Iran yang dihantam bom berfungsi untuk memperkaya uranium. Biasanya, ukuran yang digunakan juga hanya tingkat rendah, serta hanya menangani material radioaktif dengan kategori rendah.
Meski tidak menyebabkan radiasi besar, bukan berarti tidak ada risiko. Ia menuturkan, uranium yang digunakan di fasilitas tersebut memang bersifat radioaktif, tapi jenisnya memancarkan partikel alfa yang sangat lemah.
Oleh sebab itu, tidak bisa menembus kulit manusia dan hanya berbahaya jika terhirup atau tertelan. Namun, ia tetap menyorot soal bahaya kimia yang ditimbulkan.
Ia menjelaskan, ketika uranium dalam bentuk gas uranium heksafluorida (UF6) terpapar udara dan kelembaban, materi itu bisa membentuk senyawa beracun seperti Uranyl Fluoride dan Hydrofluoric Acid.
Zat itu dikenal sangat korosif dan berbahaya jika dihirup.
"Kalaupun terjadi kebocoran internal, kemungkinan kontaminasi akan tetap terlokalisasi dalam struktur, apalagi di fasilitas bawah tanah seperti Fordow yang dilindungi 80 hingga 90 meter batuan,” ujarnya.
Dampak ke Lingkungan
Di samping itu, meski risiko radiasi realtif kecil, dampak lingkungan akibat ledakan tetap menjadi perhatian.
Pakar efek radiasi terhadap ekosistem dari University of South Carolina Profesor Timothy Mousseau menilai, ledakan besar di situs nuklir tetap bisa membawa dampak ekologis jangka panjang.
"Bahan bakar nuklir, baik untuk bom maupun reaktor, bersifat radioaktif dan juga toksik secara kimia. Jika tersebar, dampaknya bisa bertahan hingga ribuan tahun," ujarnya.
Ia merujuk pada uranium-235 yang memiliki half-life (paruh waktu peluruhan) lebih dari 700 juta tahun, dan plutonium-239 yang memiliki half-life sekitar 24.000 tahun.
Kendati demikian, hingga saat ini tidak ditemukan peningkatan kadar radiasi di luar fasilitas tersebut.
Hal ini telah dikonfirmasi langsung oleh Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Mariano Grossi, yang menyatakan otoritas Iran melaporkan tidak ada peningkatan radiasi pasca serangan.