TEMPO.CO, Jakarta- Direktur Lembaga Opini Hukum Publik atau LOHPU Aco Hatta Kainang mengecam tindakan DPR yang mendadak akan mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK. Sebelumnya Wakil Ketua DPR Adies Kadier menyebut bahwa revisi UU MK siap disahkan dalam sidang paripurna periode ini setelah gagal ditindaklanjuti pada periode kemarin.
"Bagi kami (pengesahan itu) adalah tindakan yang merusak prinsip check and balance di mana fungsi kontrol lembaga yudikatif adalah mutlak adanya dalam sistem pemerintahan modern," kata Ato dalam keterangan resmi pada Rabu, 9 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, revisi keempat UU MK justru melemahkan kewenangan lembaga tersebut. Pasalnya, kata Ato, revisi UU MK hanya menyasar pasal yang membuka peluang hakim Mahkamah Konstitusi akan dievaluasi, penambahan komposisi Mahkamah Kehormatan MK dari unsur lembaga pengusul dan ketentuan peralihan pasal akan diberlakukan retroaktif untuk 9 hakim MK yang sekarang.
Ato mengatakan perubahan yang menyasar pada pasal itu melanggar putusan MK No.81/PUU-XXI/2023 yang mengatur bahwa revisu UU MK tidak boleh merugikan hakim MK. "Pengesahan revisi UU MK ini tentu adalah cara mengurung lembaga peradilan konstitusi," katanya menyimpulkan.
Ato pun menyatakan bahwa ia keberatan dengan rencana DPR membawa RUU MK ke sidang paripurna, padahal tidak termasuk dalam progam legislasi nasional 2025. Ia menganggap tindakan DPR bermuatan politik setelah MK memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilu nasional dan daerah.
"Revisi UU Mahkamah Konstitusi RI jangan dijadikan politik hukum balas dendam pasca putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal," kata dia. Dia menekankan bahwa MK adalah pintu keadilan alternatif bagi masyarakat yang dirugikan atas suatu undang-undang.
Wacana revisi UU MK menggelinding di tengah protes dari sejumlah legislator atas putusan mahkamah soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Adies Kadir menyatakan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah direvisi anggota dewan periode lalu. Adies, yang saat itu bertugas sebagai ketua panitia kerja revisi UU MK, mengatakan proses pembahasan saat itu tinggal tunggu rapat paripurna tingkat II.
“Tapi sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan, kalau ada kan dia di rapat pimpinan kemudian di badan musyawarah kan, tapi belum ada,” kata Adies seusai sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa, 8 Juli 2025.
Tempo pada 18 September 2024, melaporkan soal manuver DPR merevisi UU MK. Pembahasan revisi UU MK dikebut diam-diam tanpa diskusi yang panjang. Anggota Komisi III dari fraksi PAN saat itu,Sarifuddin Sudding menyebut, rapat hanya berlangsung 15 menit sebelum akhirnya disetujui pada Senin, 13 Mei 2024. "Rapat hanya 15 menit, persetujuan, dan selesai," katanya pada Jumat, 17 Mei 2024.
Sejumlah pasal di dalam draf revisi UU MK berpotensi melemahkan lembaga itu sendiri. Misalnya pada Pasal Sisipan 23 A, disebutkan bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat selama lima tahun atau satu periode harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul supaya bisa lanjut menjabat untuk lima tahun berikutnya.
Tanpa adanya persetujuan tersebut, hakim konstitusi harus keluar dari MK. Adapun lembaga pengusul yang memilih sembilan hakim adalah presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
Revisi UU MK saat itu pun mengundang kritik. Salah satunya dari Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) I Dewa Gede Palguna.
Dia tak habis pikir dengan revisi yang dilakukan secara diam-diam saat masa reses. "Ketika ada usul lagi perubahan UU MK dengan cara yang diam-diam, dibuat di masa reses dan tidak semua anggota DPR juga tahu, sebagian masih di luar negeri. Ini kan menimbulkan pertanyaan," kata Palguna pada Kamis, 16 Mei 2024.
Daniel A. Fajri berkontribusi dalam tulisan ini.