TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagai “turbulensi konstitusi”. Hal tersebut dia ucapkan saat ditemui di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenapa turbulensi konstitusi itu terjadi? Ini kaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang pertimbangan hukum dan amar putusannya berpotensi mengangkangi sejumlah prinsip dan norma di dalam konstitusi itu sendiri,” ujar Rifqi — sapaan akrabnya.
Politikus Partai NasDem itu mengatakan putusan tersebut tidak sesuai dengan norma dan prinsip konstitusi. “Kalau kami laksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan pemilihan umum lokal atau pemilihan daerah, yang jedanya 2 sampai 2,5 tahun, maka kami melabrak norma,” ujar Rifqi.
Dia menilai bahwa MK telah membentuk norma undang-undang dasar (UUD) mereka sendiri. Rifqi kemudian menegaskan bahwa yang berhak membentuk dan menetapkan UUD hanyalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Rifqi juga menilai putusan MK tersebut tidak memiliki nilai kedaruratan di dalamnya. “Dalam konteks undang-undang pemilu kita ini, pemilunya masih jauh, 2029,” kata dia.
Sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan pemilu lokal. Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mk memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini