Liputan6.com, Jakarta - Publik dikejutkan oleh pengakuan Erika Carlina yang ternyata tengah hamil 9 bulan meski tanpa ikatan pernikahan. Cerita ini disampaikannya dalam kanal YouTube Close The Door bersama Deddy Corbuzier.
"Ini kesalahan aku sih, Om. Aku cuma pengin jujur aja, dan aku juga enggak mikir untuk bisa diterima atau enggak sama netizen. Cuma aku pengin mengakui kesalahan aku aja dan pengin jujur aja," kata Erika.
Sahabat Fuji dan Rachel Vennya mengungkapkan bahwa janin yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki. Meski mengaku telah melakukan kesalahan, Erika tidak berniat lari dari tanggung jawab.
Kedua orang tuanya juga memberikan dukungan moral kepadanya. "Pertama kali yang tahu kondisi aku ya mami-papi. Sesusah apa pun harus tanggung jawab, mau sendirian atau mau ada orang-orang di sekitar aku, aku harus bisa bertanggung jawab," katanya.
Menurut perhitungannya, bayi Erika diperkirakan akan lahir pada 8 Agustus 2025.
Meski terbuka soal kehamilannya, Erika memilih untuk tidak mengungkap identitas pria yang telah menghamilinya.
Dia hanya menyebut bahwa semula mereka sempat berencana menikah.
Fakta bahwa Erika Carlina hamil 9 bulan tanpa kehadiran sosok suami pun menjadi sorotan warganet.
Kasus Erika Carlina Hamil 9 Bulan Perlu Disikapi dengan Empati
Sebagian pihak menyayangkan dan menilai kehamilan di luar nikah tidak patut untuk dinormalisasi.
Namun, tak sedikit pula yang menyatakan empati dan mengapresiasi keberanian Erika yang memilih bertanggung jawab atas keputusannya.
Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap ketika mengetahui ada kerabat atau sahabat yang mengalami kondisi serupa?
Kehamilan di luar pernikahan kerap menjadi bahan perbincangan hangat, disertai stigma sosial dan penghakiman.
Padahal, menurut Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga Ayoe Sutomo, perempuan yang sedang menghadapi kondisi tersebut justru membutuhkan empati, bukan cibiran.
"Kalau ditanya harus bagaimana, kuncinya adalah kembali ke teori empati. Kita perlu bisa lebih berempati kepada orang yang sedang mengalami situasi itu," ujar Ayoe saat dihubungi Health Liputan6.com pada Minggu, 20 Juli 2025.
Ayoe, menegaskan, kehamilan di luar nikah bukanlah situasi mudah. Terlepas dari benar atau salah, perempuan yang mengalaminya sedang menghadapi tekanan mental dan sosial yang berat.
"Terlepas dari apakah itu salah atau tidak, tetap saja ini adalah situasi yang sulit bagi setiap orang untuk menjalaninya. Apalagi ketika harus hamil dan menjalani semuanya sendirian tanpa pasangan," ujarnya.
Hindari Komentar Menghakimi
Salah satu bentuk empati paling sederhana menurut Ayoe adalah tidak memberikan komentar sinis atau merendahkan. Sikap judgmental justru bisa memperburuk kondisi psikologis ibu hamil yang sedang dalam tekanan.
"Apalagi buat kita yang nggak tahu sebetulnya duduk permasalahannya seperti apa. Jadi, sangat penting untuk menghindari komentar-komentar yang menghakimi. Itu sama saja dengan bersikap judgmental," kata Ayoe.
Lebih lanjut, Ayoe mengapresiasi keputusan perempuan yang tetap mempertahankan kehamilan meski berada dalam situasi sulit. Menurutnya, itu adalah bentuk nyata dari tanggung jawab dan keberanian.
"Keputusan ibu untuk tetap mempertahankan bayi di tengah kondisi sulit merupakan hal yang sangat patut diapresiasi. Dia sadar telah melakukan satu kesalahan, tetapi memilih untuk tidak menutupinya dengan kesalahan lain," ujar Ayoe.
Empati adalah Bentuk Dukungan Terbaik
Sering kali, perempuan yang hamil di luar nikah menghadapi tekanan sosial, cibiran lingkungan, hingga dampak pada kesehatan mental. Kondisi ini juga dapat memengaruhi tumbuh kembang anak ke depannya.
Ayoe pun kembali menekankan bahwa empati merupakan bentuk dukungan sosial yang paling dibutuhkan.
"Sulit di sini maksudnya akan berhadapan dengan pandangan-pandangan dari masyarakat, judgement dari orang-orang. Itu pasti nggak mudah. Maka yang paling bisa kita lakukan adalah menumbuhkan empati, bukan menyalahkan," pungkasnya.