TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah praktisi dan ahli hukum untuk membahas perihal pemisahan jadwal pemilu. Dalam putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024, Mahkamah memisahkan jadwal pemilu nasional dan lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat berlangsung untuk mendengarkan pandangan ahli mengenai putusan MK itu. Komisi III mengundang tiga pakar hukum, yaitu Patrialis Akbar, Taufik Basari, dan Valina Singka Subekti. Taufik adalah mantan anggota DPR periode 2019-2024 sementara Valina merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004. Adapun Patrialis merupakan mantan hakim MK periode 2013-2017.
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR Habiburokhman. "Dalam kesempatan ini Komisi III DPR RI ingin mendengarkan pandangan dan masukan dari para ahli, akademisi, dan praktisi hukum," kata Habiburokhman di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada Jumat, 4 Juli 2025.
Menurut Habiburokhman, putusan pemisahan Pemilu dari MK telah menimbulkan polemik. Politikus Partai Gerindra itu menilai MK disinyalir telah melampaui kewenangannya dengan mengeluarkan norma baru aturan Pemilu.
Padahal, kata Habiburokhman, perumusan peraturan adalah kewenangan pembentuk undang-undang dalam kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Dalam rapat, Patrialis menyebut penentuan aturan penyelenggaraan Pemilu merupakan ranah eksekutif dan legislatif. "Ini bukan ranah dari MK untuk menentukan itu," ucap Patrialis.
Menurut dia, putusan MK juga menyalahi aturan karena memisahkan pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Patrialis berujar dalam rezim pemilu di Indonesia, seharusnya pemilihan-pemilihan tersebut merupakan satu kesatuan. Ketentuan mengenai Pemilu tersebut termaktub dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam putusan MK, pemilu nasional dan lokal dinyatakan harus berlangsung secara terpisah dengan jenjang waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun. Dengan begitu, pemilihan anggota DPRD provinsi serta kabupaten/kota yang sebelumnya bersamaan dengan Pemilu presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD harus dilaksanakan terpisah.
Seperti Patrialis, Valina juga menilai putusan MK berpotensi tidak sesuai dengan konstitusi. Sebab, UUD 1945 menentukan bahwa Pemilu di Indonesia harus dilaksanakan lima tahun sekali. Dengan putusan tersebut, pemilihan DPRD, yang termasuk rezim Pemilu di UUD 1945, berpotensi mundur sehingga tidak memenuhi ketentuan lima tahun sekali.
Meski begitu, Valina menyebut putusan MK kali ini tetap memiliki kekuatan hukum karena telah diputus. Maka dari itu, dia meminta DPR untuk cermat dalam menyikapinya agar Pemilu di Indonesia memiliki dasar konstitusional yang kuat.
"Saya berharap tentu ini kepada pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah, untuk mencarikan solusi yang terbaik dan bijak," ucap guru besar ilmu politik Universitas Indonesia itu.