TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil mengundang pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan debat publik ihwal Rancangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP di depan Gerbang Pancasila, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin siang, 14 Juli 2025. Koalisi menilai pembahasan revisi KUHAP itu masih minim partisipasi publik dan memuat sejumlah pasal bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulai dari Presiden Prabowo Subianto, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Wakil Menteri Hukum Edward Syarief Hiariej, hingga Ketua Komisi III DPR Habiburokhman diundang. Namun hingga debat publik dimulai, tidak ada satu pun yang datang.
Pantauan Tempo di lokasi, puluhan masyarakat sipil datang mengikuti debat publik perihal revisi KUHAP tersebut. Beberapa perwakilan dari koalisi memberikan pandangannya tentang permasalahan yang ada di draf RUU KUHAP.
Mereka juga membuat aksi simbolik dengan menyediakan kursi kosong dan foto keempat narasumber tersebut. Beberapa kali moderator debat publik menyodorkan mikrofon kepada kursi kosong itu untuk menyampaikan pandangan terhadap sejumlah masal di revisi KUHAP.
"Bagaimana tanggapannya Pak atas argumentasi yang diberikan koalisi masyarakat sipil?" kata moderator kepada kursi kosong yang direncanakan untuk tempat duduk Prabowo hingga Habiburokhman.
Koalisi masyarakat sipil juga membawa draf tandingan revisi KUHAP yang mereka susun. Ada pula sejumlah poster penolakan terhadap RUU KUHAP.
Di tempat lain, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman justru meminta koalisi untuk berdiskusi di dalam ruangan komisinya. Dia berujar, hal itu lebih tepat dilakukan karena gedung parlemen merupakan rumah rakyat.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan komisinya bakal menunggu koalisi bila ingin berdiskusi soal revisi KUHAP di dalam ruangannya. "Lebih baik datang ke sini, yang ngomong semua partai. Nanti partai tinggal menyampaikan ke fraksi masing-masing," kata Habiburokhman, Senin, 14 Juli 2025.
Dia juga menilai bahwa diskusi soal revisi KUHAP di dalam ruang Komisi III lebih nyaman ketimbang berdebat di pinggir jalan. "Kami membuka diri kalau ada yang ingin memberi masukan," ucapnya.
Salah satu persoalan dalam naskah daftar inventarisasi masalah atau DIM RUU KUHAP yang disorot adalah tentang izin hakim dalam upaya paksa penangkapan dan penahanan oleh penyidik. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, mengatakan DIM revisi KUHAP memang mencantumkan kewajiban penyidik untuk memperoleh izin dari hakim setempat sebelum melakukan upaya penangkapan dan penahanan.
Namun, kata dia, pasal itu juga mengandung ayat yang mengecualikan izin hakim dalam kondisi mendesak tertentu. “Keadaan mendesak ini maknanya salah satunya dari penilaian subyektif penyidik yang tidak ada limitasinya,” ucap Tita.
Menurut Tita, penilaian subyektif penyidik itu hanya akan melegitimasi permasalahan-permasalahan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses upaya paksa yang terjadi saat ini.
Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Siap Hadiri Kongres, Jokowi: PSI Partai Politik Super Terbuka