TEMPO.CO, Jakarta -- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyampaikan catatan kritis soal kondisi guru Indonesia. PGRI menyebut guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS) dengan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) terdapat perlakuan yang berbeda.
Kepala Departemen Bantuan Hukum dan Perlindungan Profesi PGRI Maharani Siti Sofia mengatakan, guru PPPK memikul beban kerja yang sama seperti pegawai negeri sipil (PNS). Namun, guru PPPK masih menghadapi berbagai ketimpangan dalam perlindungan hukum, jenjang karier, hingga hak pensiun. “Kami mengkritisi soal beban kerja yang sama, tapi perlakuannya berbeda,” kata Maharani saat melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, 14 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maharani menuturkan, status kepegawaian guru PPPK masih bersifat kontraktual, meski masa kontraknya bisa mencapai lima tahun dan dapat diperpanjang. Dia mengatakan tidak ada mekanisme konversi status yang memungkinkan guru PPPK diangkat menjadi PNS dengan pengakuan atas masa kerja dan kontribusinya sebagai pendidik.
Beberapa catatan tadi, menurut PGRI, menjadi sumber ketimpangan yang mendasar. PGRI juga mengatakan banyak guru PPPK sudah mengabdi bertahun-tahun, tapi tetap dipandang sebagai tenaga tidak tetap.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPC Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) Kabupaten Karimun, Mahadi, mendesak pemerintah pusat agar membuka peluang peralihan status bagi guru dan tenaga kependidikan dari PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Mahadi berpendapat, ketidakpastian status dan ketimpangan perlindungan membuat nasib guru PPPK kian terpuruk meski beban kerja mereka setara dengan PNS. “Kalau kita bandingkan dengan Malaysia dan Singapura, di sana tidak ada guru kontrak seperti PPPK. Di sini, kami malah mentok,” ujar Mahadi.
Mahadi menyebut setidaknya ada lima poin utama yang menjadi dasar desakan peralihan status ke PNS. Pertama, Ketiadaan jaminan pensiun dan kepastian hukum. “Setelah kami tua, setelah usia 60 tahun, BPJS langsung terputus. Tidak ada pesangon, tidak ada tunjangan pensiun, bahkan aturan turunan soal pesangon pun belum jelas,” ujarnya. Beberapa guru yang sudah pensiun sejak 2019 hingga 2025 pun, kata dia, tak mendapat hak apa-apa dari negara.
Kedua, stagnasi karier dan keterbatasan pengembangan diri. Guru PPPK mentok di golongan 9, bahkan yang sudah S2 atau S3 tak bisa naik ke golongan yang lebih tinggi seperti PNS. “Uji kompetensi hanya tersedia bagi PNS. Kami ini tidak punya ruang tumbuh,” katanya. Ketiga, diskriminasi dalam pengembangan kompetensi. Mahadi menyebutkan, dalam banyak sekolah, guru PPPK kerap dianggap “anak tiri”. “Kalau ada pelatihan, kepala sekolah utamakan PNS. Kami dinomorduakan,” ujar dia.
Keempat, kontrak yang tak pasti dan berisiko. Meski status ASN, PPPK tetap berisiko diberhentikan saat masa kontrak habis. Mahadi khawatir guru kehilangan pekerjaan dan jaminan hidup jika kontraknya tidak diperpanjang. “Kontrak saya habis 2027, tapi apakah akan diperpanjang? Tidak ada dasar hukumnya.”
Kelima, tidak bisa menduduki jabatan strategis. Guru PPPK hanya bisa menjabat posisi fungsional seperti kepala sekolah. Sebaliknya, PNS bisa naik jadi kepala dinas atau kabid di daerah. “Kami mentok. Padahal kemampuan dan dedikasi kami sama.”
Mahadi meminta pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Komisi X DPR RI, segera menerbitkan peraturan menteri sebagai dasar peralihan status PPPK ke PNS. Ia juga menyinggung diskresi presiden yang memungkinkan dosen PPPK dialihkan ke PNS tanpa batas usia dan tanpa tes.