TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal telah mendorong constitutional engineering atau rekayasa konstitusi.
Khoirunnisa mengatakan rekayasa konstitusi dimaksudkan untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada. “Seharusnya justru kalau memang dianggap ada kerumitan atau implikasi lainnya maka perlu segera dilakukan revisi UU pemilu dan pilkada,” kata Khoirunnisa saat dihubungi Tempo pada Senin, 7 Juli 2025. Dia menegaskan dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 model keserentakan juga telah tercantumkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khoirunnisa mengatakan tugas MK adalah menafsirkan konstitusi. Sehingga putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal tidak bisa dikatakan inkonstitusional. “Untuk soal transisi masa jabatan, ini yang harus menjadi diskusi oleh pembentuk undang-undang untuk mencari bagaimana bentuknya,” kata dia.
Pernyataan Perludem itu menanggapi pendapat mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md. Menurut Mahfud, Putusan MK yang memberikan jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal berpotensi menimbulkan masalah. Potensi itu terjadi dalam masa transisi pemilihan DPRD.
Mahfud menjelaskan, belum ada peraturan soal pengganti anggota DPRD yang habis masa jabatannya. Berbeda dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam UU, bila masa jabatan mereka habis, masih bisa diganti seorang penjabat sampai dilakukan pilkada.
"Problemnya, kalau menunda pemilihan gubernur, bupati, wali kota 2,5 tahun, ya bisa diatasi dengan mengangkat penjabat. Tapi kalau DPRD kan enggak bisa pakai penjabat," kata mantan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan ini saat ditemui di Jakarta, Ahad, 6 Juli 2025. Menurut Mahfud, kerumitan itu yang membuat sejumlah partai ramai-ramai mengkritik putusan MK.
Sejumlah legislator memang mengkritik putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah merupakan hal yang inkonstitusional. Dia menilai putusan itu menentang pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur pemilihan umum.
"Putusan itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda," kata Saan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Wakil Ketua DPR itu mengatakan, untuk mengakomodasi putusan MK maka harus ada amandemen UUD 1945.
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Jazilul Fawaid mengatakan putusan ini berimplikasi pada sistem dan teknis penyelenggaraan, misalnya masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD. Dia juga menyebut ada potensi kebengkakan anggaran.
"KPU dan Bawaslu kan tidak terdampak kemungkinan perpanjangan masa jabatan karena putusan ini. Makanya harus diusulkan itu," kata anggota Komisi X DPR ini saat berbicara dalam diskusi publik bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK” di Ruang Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR, Jumat, 4 Juli 2025.
Kerumitan ini terjadi setelah MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.