TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agama mendapatkan catatan penyelenggaraan haji 2025 dari Arab Saudi. Catatan tersebut tertuang dalam nota diplomatik dari Duta Besar Arab Saudi yang diterbitkan pada Senin, 16 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nota tersebut merupakan catatan tertutup yang ditujukan kepada tiga pihak, yakni Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief, dan Direktur Timur Tengah pada Kementerian Luar Negeri, Ahrul Tsani Fathurrahman.
Menanggapi beredarnya nota diplomatik itu, Hilman Latief menyatakan dinamika penyelenggaraan haji yang dibahas dalam nota tersebut sudah terselesaikan. Selain itu, penjelasannya juga sudah disampaikan kepada Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.
“Ada beberapa isu yang menjadi catatan dan tantangan saat masa operasional,” tutur Hilman di Madinah, Arab Saudi, dikutip dari keterangan resmi di laman Kementerian Agama pada Sabtu, 21 Juni 2025. “Surat tersebut berbicara tentang apa yang kami lakukan sejak dua sampai empat pekan lalu, yang tetap dimasukkan sebagai catatan untuk perbaikan oleh penyelenggara haji.”
Hilman menjelaskan lima hal pokok dinamika haji yang tercakup dalam nota diplomatik Duta Besar Arab Saudi di Jakarta itu. Pertama, masalah koherensi data jamaah, baik yang masuk dalam sistem penyelenggaraan haji berbasis elektronik E-Hajj, Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama, dan manifest atau daftar kargo, penumpang dan awak pesawar penerbangan.
Dalam data tersebut, ditemukan ada beberapa nama jemaah yang berbeda antara jemaah yang ikut terbang dalam pesawat dan yang tercantum dalam manifest. “Alhamdulillah bisa kami tangani pada awal Mei, di mana dalam satu pesawat ternyata ada beberapa jemaah yang berbeda Syarikah,” kata Hilman.
Menurut Hilman, persoalan ini muncul dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi di lapangan, termasuk di embarkasi. Pada proses pengurusan visa haji, ada beberapa nama yang batal berangkat karena beberapa alasan sehingga harus diganti.
“Ini sempat ramai, lalu kami jelaskan. Kami tentu tidak bisa juga membiarkan pesawat itu kosong karena ada orang yang sakit atau meninggal,” ujar Hilman. “Ketika teman-teman di lapangan masih memungkinkan untuk bisa mengganti, maka mereka akan menggantikan dengan penumpang berikutnya.”
Mengenai data jemaah ini, tim Penyelenggara Haji dan Umrah atau Misi Haji Indonesia melalui Kantor Urusan Haji, bersama dengan Kementerian Haji dan syarikah, melakukan rekonsiliasi data setiap hari dan setiap malam.
Kedua, ihwal pergerakan jemaah yang berangkat pada gelombang I dari Madinah ke Makkah. Di Madinah, jamaah haji dari satu penerbangan ditempatkan pada satu hotel. Namun, ketika akan diberangkatkan ke Makkah, konfigurasinya harus berbasis Syarikah. Sementara ada kondisi konfigurasi sebagian kelompok kecil jemaah yang berbeda-beda Syarikah. Menurut Hilman, mereka ini sementara tinggal dulu di Madinah.
“Direktorat Jenderal PHU atau Misi Haji Indonesia menyediakan transportasi sendiri. Ada yang memakai mobil lebih kecil atau mini-bus atau mobil yang lain. Inilah yang disebut dalam surat tersebut sebagai memberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur,” tutur Hilman.
Hilman mengatakan, Pemerintah Indonesia telah mengkomunikasikan hal itu ke Kementerian Haji dan syarikah. “Jadi itu sudah disepakati. Tidak mungkin kami membawa orang dari Madinah ke Makkah tanpa ada kesepakatan dari lembaga terkait, Kemenhaj maupun Syarikah,” ujar dia.
Ketiga, terkait dengan penempatan jemaah pada hotel di Makkah. Hilman Latief menjelaskan, mayoritas jemaah haji Indonesia tinggal di hotel masing-masing sesuai syarikahnya. Tujuannya ialah untuk mengamankan jemaah saat pergerakan ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, ada sejumlah jemaah yang terpisah dan berharap bisa bergabung dengan kloter besarnya, meskipun syarikahnya berbeda. Ada di antara jamaah yang memberi tahu kepindahan hotel mereka, tapi ada juga yang tidak memberitahu, baik kepada kepala sektor maupun ketua kloternya.
“Ini yang disebut sebagai penempatan yang tidak sesuai. Tapi kami sampaikan dan itu menjadi bahan diskusi kami setiap hari dengan Kementerian Haji dan syarikah penyedia layanan,” kata Hilman. Menurut dia, kepindahan hotel untuk penggabungan jamaah, khususnya yang memiliki ikatan keluarga, diperbolehkan.
Keempat, terkait dengan kesehatan jemaah. Hilman mengatakan kesehatan jemaah sudah dibahas sejak awal, terutama soal jumlah jemaah haji Indonesia yang lansia dan risiko tinggi cukup banyak. Ia mengakui ada kekhawatiran dari Pemerintah Saudi bahwa jumlah jemaah yang wafat pada tahun ini melebihi tahun lalu. Sehingga, jemaah lanjut usia dan berisiko tinggi harus dijaga dengan baik oleh grup dan pendampingnya.
“Ini juga menjadi catatan peringatan bagi mitra kita di KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah) dan para pembimbing untuk jangan terlalu memaksakan ibadah sunah terlalu sering, terlalu banyak, kepada jemaah dengan kondisi khusus (lansia/risti) semacam itu. Ini kan masih terjadi, jadi masih masuk catatannya dalam nodip (nota diplomatik),” kata Hilman.
Menurut Hilman, harapan dari Kementerian Haji melalui nota tersebut ialah proses seleksi jemaah lebih ketat. “Kalau berat dengan penyakit tertentu tidak berangkat, termasuk yang harus cuci darah. Pesan ini luas, termasuk untuk keluarga jemaah agar jangan merelakan anggota keluarga dengan kondisi yang berat harus pergi ke sini, sementara medan pelaksanaan haji begitu berat yang harus dijalani,” ujar dia lagi.
Kelima, penyembelihan hewan kurban sebagai dam (denda). Hilman menyebut mayoritas jemaah Indonesia melaksanakan haji Tamattu’, sehingga harus membayar dam. Menyoal penyembelihan dam, Kemenag sudah menyampaikan kepada Kementerian Haji bahwa di Indonesia ada dua skema. Pertama, melalui Adahi, perusahaan penyembelihan dan pengelolaan hewan yang diberikan mandat oleh Kerajaan untuk mengelola kurban dan hadyu.
“Kami sudah berdiskusi banyak tentang itu. Kami juga sampaikan kebijakan kami pada bulan yang lalu kepada Kerajaan, bahwa di Indonesia masih ada yang memungkinkan untuk menyembelih dam di Tanah Air melalui Baznas (Badan Amil Zakat Nasional),” ujar Hilman.
Kemenag, ia melanjutkan, sudah menyampaikan pesan kepada seluruh jemaah untuk bisa menggunakan layanan pembayaran dan pelaksanaan dam (hadyu) resmi dari Arab Saudi, yakni Adahi.
“Tapi ini tidak mudah karena kewajiban itu muncul belakangan, sementara banyak masyarakat Indonesia melalui para pembimbing KBIH dan lain lain sudah terlanjur berkomitmen dengan RPH (Rukah Potong Hewan), ada juga yang belanja ke pasar sendiri beli kambingnya, atau mitra dati mukimin. Sementara tahun ini Saudi begitu keras melarang hal tersebut," ucap Hilman.
"Mungkin di situ ada masalah lain, misalnya harga terlalu tinggi melalui Adahi. Kami sampaikan pada Kerajaan," ujar Hilman melanjutkan.
Perihal kontrak dengan Adahi, Hilman menjelaskan bahwa rancangan kontrak sudah ditandatangani Kantor Urusan Haji. Namun, Adahi belum menandatangani kontraknya lantaran masih meminta kepastian jumlah kambing yang akan disembelih.
“Kami sudah tahu fakta dan situasinya di KBIHU dan para pembimbing ibadah haji yang sudah terlanjur menbuat kesepakatan dengan pihak lain non-Adahi, sehingga tidak bisa dipastikan berapa orang yang akan menyembelih melalui Adahi," ujar dia.
"Catatannya, ke depan masalah hadyu itu sudah harus menjadi bagian dari kebijakan pembiayaan, sehingga kalau voluntary tetap kami tidak bisa melakukan kontrak. Ini ke depan yang harus diperbaiki dalam kebijakan," kata dia.
Hilman berharap seluruh penjelasan Kementerian ini bisa menyelesaikan kekisruhan atas nota diplomatik yang diklaim telah diselesaikan bersama dengan Kementerian Haji bahkan sebelum puncak haji.