TEMPO.CO, Jakarta – Laporan terbaru dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta mengungkap fakta yakni santri laki-laki cenderung lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri perempuan di lingkungan pesantren. Temuan ini disampaikan dalam paparan hasil survei kekerasan seksual di pesantren dalam sebuah forum daring bertajuk ‘Peluncuran dan Bedah Buku tentang Kekerasan Seksual di Pesantren’ pada Selasa,8 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti PPIM UIN, Windy Triana, menjelaskan salah satu faktor utama kerentanan itu berasal dari ketimpangan sistem perlindungan yang lebih banyak difokuskan pada santri perempuan. “Proteksi lebih banyak diberikan ke perempuan, mulai dari kamar tidur hingga kamar mandi yang lebih tertutup. Laki-laki dianggap bisa menjaga dirinya sendiri,” ujar Windy.
Anggapan ini, lanjut Windy, justru menempatkan santri laki-laki dalam posisi rawan. Minimnya pengawasan dan perlindungan terhadap mereka menjadikan kekerasan lebih mudah terjadi, terutama dalam bentuk perundungan seksual yang sering kali dianggap sebagai candaan atau hukuman biasa dari senior.
Lebih lanjut, Windy menyoroti santri laki-laki juga cenderung enggan melapor atau menjadi pelapor ketika menjadi korban. “Anak perempuan lebih berani speak up. Mereka lebih siap menjadi bystander aktif. Sementara itu, laki-laki lebih banyak memilih diam,” katanya.
Fenomena ini diperparah oleh budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang melekat di lingkungan pesantren. Norma sosial yang menuntut laki-laki kuat dan tidak cengeng membuat mereka enggan mengakui diri sebagai korban. “Padahal, candaan seksual dan pembulian terhadap laki-laki yang dianggap feminin justru menjadi pintu masuk kekerasan,” ujarnya.
Tim peneliti juga mencatat santri laki-laki kerap dijadikan objek pelecehan karena karakteristik fisik atau perilaku yang tidak sesuai stereotip kejantanan. Beberapa bahkan dipersonifikasikan sebagai 'perempuan' karena bersikap gemulai atau berpenampilan rapi dan hal ini dijadikan dalih oleh pelaku untuk melecehkan mereka.
“Pola kekerasan yang melibatkan sesama santri laki-laki atau laki-laki yang dianggap feminin bukan berarti menunjukkan disorientasi seksual di pesantren. Ini adalah bentuk personifikasi tubuh perempuan dalam tubuh laki-laki, yang menjadi sasaran kekerasan,” tutur Windy.
Survei PPIM juga membagi kerentanan pesantren terhadap kekerasan seksual ke dalam tiga tipologi: ketahanan tinggi, ketahanan moderat, dan ketahanan rendah. Mayoritas pesantren di Indonesia berada pada kategori ketahanan moderat, yang artinya memiliki sistem dasar perlindungan namun belum cukup kuat untuk mencegah kekerasan terjadi.
Windy menambahkan perubahan bisa dilakukan, terutama jika pesantren bersedia terbuka dan melibatkan pihak eksternal dalam penanganan kasus. Namun sayangnya, masih banyak pesantren yang menutup rapat kasus kekerasan seksual dan memilih menyelesaikannya secara internal tanpa melibatkan orang tua korban maupun lembaga pendamping.
“Relasi kuasa dan budaya tertutup jadi penghalang besar dalam penanganan. Bahkan aspek pemulihan untuk korban sering diabaikan,” ucap Windy.
Dengan tingginya kerentanan dan lemahnya sistem perlindungan terhadap santri laki-laki, PPIM UIN menyerukan perlunya reformasi dalam tata kelola pesantren, termasuk penambahan fasilitas yang setara, pendidikan seksual yang komprehensif, serta mekanisme pelaporan dan pemulihan korban yang lebih aman dan inklusif.