TEMPO.CO, Jayapura - Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, menegaskan bahwa hak masyarakat adat tidak bergantung pada pengakuan negara. Barume menyampaikan hal ini di hadapan masyarakat adat Orang Asli Papua (OAP) dalam lawatan informalnya ke Jayapura, Provinsi Papua, pada 4-5 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat adat, tutur Barume, adalah bangsa yang sudah ada jauh sebelum negara terbentuk. Hak masyarakat adat pun juga diakui secara tegas oleh hukum internasional. “Hak Anda tidak bergantung pada pengakuan negara Anda,” ujar Barume di Gedung Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita Padang Bulan, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Sabtu, 5 Juli 2025.
Barume mengakui ada negara yang masih tidak mengakui keberadaan indigenous peoples atau masyarakat adat secara hukum. “Saya tidak menyebut nama negara Anda di sini, ada negara yang terus melakukan kesalahan itu. Mereka terlambat memenuhi kewajiban mereka, tapi itu tidak menghalangi Anda untuk mendapatkan hak-hak Anda,” tutur dia.
Ia kemudian kembali menekankan bahwa hak-hak maupun identitas masyarakat adat Papua tidak bergantung pada pengakuan negara. “Mereka yang seharusnya mengubah hukum mereka, bukan Anda yang seharusnya mengubah pikiran Anda,” kara Barume.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi sebelumnya menyebut Indonesia telah menyangkal identitas masyarakat adat (indigenous peoples). Rukka menyoroti keengganan pemerintah Indonesia dalam menggunakan istilah “indigenous peoples” dalam sebuah surat balasan kepada PBB ihwal dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup dalam proyek strategis nasional (PSN) di Merauke, Provinsi Papua Selatan.
“Dalam surat ini ada satu yang menjadi persoalan paling serius dengan pemerintah Indonesia, khususnya dalam 10 tahun terakhir dan memuncak dalam sekitar lima tahun terakhir, yaitu pengingkaran pemerintah Indonesia tentang indigenous peoples di Indonesia,” ucap Rukka di Jayapura, Provinsi Papua, pada Sabtu, 5 Juli 2025.
Surat balasan bertarikh 6 Mei 2025 itu ditandatangani oleh Duta Besar/Kuasa Usaha Ad Interim Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Achsanul Habib. Dalam surat bernomor 61/POL-II/V/2025 tersebut, pemerintah menyebut masyarakat adat Papua yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM sebagai “customary law communities” atau masyarakat hukum adat. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyebut “indigenous peoples”.
Dia menyebut bahwa pemilihan istilah untuk mengacu pada masyarakat adat di suatu wilayah ini persoalan serius. Rukka berpandangan bahwa penggunaan istilah masyarakat hukum adat ini menunjukkan Indonesia enggan terikat dengan berbagai standar, norma, dan prosedur PBB maupun prosedur internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Sangat jelas dalam suratnya ini dia menyebut customary law communities atau masyarakat hukum adat jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, padahal istilah masyarakat adat punya sejarah politik dan sosial yang panjang,” kata Rukka.
Menurut Rukka, istilah masyarakat hukum adat yang digunakan oleh pemerintah Indonesia telah mengingkari hak kolektif masyarakat adat Papua atas asal-usul mereka. “Jadi semakin ke sini penyangkalan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat sebagai indigenous peoples, itu semakin kuat,” tutur Rukka.