TEMPO.CO, Jayapura - Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak-hak masyarakat adat, Albert Kwokwo Barume, mengatakan bahwa banyak negara waswas dengan kunjungan resmi atau official visit pelapor PBB. Maka dari itu, negara yang menerima kunjungan resmi pelapor khusus PBB semakin sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barume menyebut kunjungan akademik—salah satu aktivitas yang merupakan mandat bagi pelapor khusus PBB—lebih populer belakangan ini. “Negara memberikan lebih sedikit kunjungan resmi karena mereka tidak menyukainya,” ujar Barume di Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, pada Sabtu, 5 Juli 2025. “Mereka merasa cemas, seperti negara Anda, negara Anda benar-benar cemas.”
Dalam kunjungan akademik seperti ini, ia melanjutkan, pelapor khusus sebetulnya tidak membutuhkan izin dari pemerintah yang bersangkutan. Ia hanya perlu menyatakan bahwa dirinya akan berkunjung ke negara tersebut. “Ketika mereka sudah tahu soal kunjungan itu, mereka menjadi gelisah. Mereka bakal menelepon kembali dan bertanya, “Apa yang akan Anda lakukan di sana?” dan mengingatkan bahwa ini bukan kunjungan resmi,” ucap Barume.
Ia berkata, perbedaan dari kunjungan official dan non-official adalah bila berkunjung tanpa adanya undangan resmi dari negara, maka yang bisa ia lakukan selama kunjungan itu cukup terbatas. Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan dan dikatakan oleh dirinya.
Namun, pria yang mengemban tugas sebagai pelapor khusus PBB sejak Desember 2024 ini menegaskan, kunjungan akademik juga berguna. Sebab kunjungan itu bisa menjadi wadah untuk mengumpulkan beragam informasi secara langsung dari masyarakat adat. “Kemudian, saya dapat berdiskusi dengan pemerintah dari apa yang saya dengar, dari apa yang saya lihat,” tutur Barume.
Dia pun menyatakan komitmennya untuk menjadi amplifier atau penguat suara masyarakat adat. Bagi Barume, memberikan kekuatan pada suara masyarakat adat merupakan tugas utamanya sebagai pelapor khusus PBB.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa dirinya bukan hakim yang bisa mengadili. “Saya tidak bisa memenjarakan seseorang. Saya tidak bisa memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu,” kata Barume.
Adapun Barume berkunjung secara informal ke Jayapura, Papua, pada 4 hingga 5 Juli 2025. Dalam pertemuan yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini, Barume mendengar dan melihat langsung situasi masyarakat adat Papua yang terdampak proyek strategis nasional (PSN) maupun ekspansi perkebunan sawit. Masyarakat adat Papua berharap kehadiran Barume dapat menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.